Sabtu, 21 September 2013

MAHASISWA PEJUANG PEJUANG MAHASISWA (4)


BAGIAN EMPAT
Kepemimpinan Yang Melayani
 Dalam perjalanan hidup limapuluh tahun Leo Nababan, tentu banyak suka dan duka dijalani. Banyak kegetiran yang  dilalui. “Kalau kita mau menjadi orang hebat, bergaul akrab dengan orang hebat. Kalau kita mau belajar kepemimpinan, yang terbaik, belajar dan bergaul erat dengan para pemimpin. Dengan demikian akan berdampak pada kita.”
 Leo tahu betul, bahwa semua keputusan dan hal yang diputuskan adalah karya dari seorang pemimpin. “Pemimpin dengan kepemimpinannya memegang peran yang strategis dan menentukan dalam menjalankan roda organisasi, menentukan kinerja suatu lembaga dan bahkan menentukan mati hidup atau pasang surutnya kehidupan suatu bangsa dan negara.” Bagi Leo, itu merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dibuang atau diabaikan, dalam kehidupan suatu organisasi atau suatu bangsa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. “Baik atau buruknya kondisi suatu organisasi, bangsa dan negara, ditentukan oleh kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang dijalankannya.”
Para pemimpin di daerah, bagi Leo harus  diberi wewenang untuk mengelola sumber daya lokal yang dimiliki untuk membuat masyarakatnya menjadi lebih sejahtera. Mereka dipilih dan diberi kepercayaan untuk memimpin rakyat. Agar lebih sejahtera dan membangun daerah menjadi lebih maju, di tangan para pemimpin itulah ditentukan bagaimana masa depan rakyat. Di pundak para pemimpin itu digantungkan harapan-harapan rakyat yang dipimpin.
Menurutnya, saat ini yang terjadi adalah krisis kepercayaan. “Kalau kepercayaan sudah hilang, hilang juga harapan,” katanya pada berbagai kesempatan. Bagi Leo, indikator menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemimpin antara lain berupa kondisi kesejahteraan masyarakat yang masih memprihatinkan, pelayanan publik yang belum memenuhi harapan, kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh sebagian pemimpin sampai tindak pidana korupsi.
Leo berkali-kali menekankan, sosok kepemimpinan yang melayani.  Pemimpin itu harus melayani. Bagi Leo, kepemimpinan hanyalah hakikat dari suatu teori, seni (art) dan ilmu (sains) untuk mempengaruhi orang lain, atau orang-orang yang dipimpin sehingga dari orang-orang yang dipimpin muncul kemauan, respek, kepatuhan dan kepercayaan terhadap pemimpin untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.  “Kepemimpinan merupakan kecakapan, kemahiran dan keterampilan tertentu untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpin,” ujarnya. Sedangkan ilmu kepemimpinan mengandung sejumlah ajaran atau teori kepemimpinan yang telah dibuktikan dengan pengalaman, yang dapat dipelajari atau diajarkan.
Fungsi pemimpin adalah untuk menggerakkan para pengikut agar mereka mau mengikuti atau menjalankan apa yang diperintahkan atau dikehendaki pemimpin. Hubungan antara pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya bersifat pembimbingan, memberi arah, memberikan perintah, motivasi dan dorongan serta teladan untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya.
Kepemimpinan yang melayani merupakan model kepemimpinan yang mesti dikembangkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan yang sedang dialami masyarakat. Pemimpin-pelayan mempunyai kecenderungan lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya. Orientasinya adalah untuk melayani, cara pandangnya holistik dan beroperasi dengan standar moral spiritual.
Kepemimpinan yang melayani memiliki kelebihan karena hubungan antara pemimpin (leader) dengan pengikut (followers) berorientasi pada sifat melayani dengan standar moral spiritual. Pemimpin-pelayan mempunyai tanggung jawab untuk melayani kepentingan pengikut agar mereka menjadi lebih sejahtera, sebaliknya para pengikut memiliki komitmen penuh dalam bekerja untuk mencapai tujuan organisasi dan keberhasilan pemimpin. Secara umum, tipikal kepemimpinan yang melayani dapat diterapkan pada semua bidang profesi, organisasi, lembaga, perusahaan (bisnis) dan pemerintahan karena kepelayanan bersifat universal.  Dalam praktiknya, model kepemimpinan yang melayani tentu tidak mudah dilakukan, tapi bukan berarti mustahil diwujudkan.
Menjadi pemimpin berarti menerima mandat kepercayaan dari Tuhan Yang Mahakuasa melalui organisasi atau pemerintah untuk memimpin rakyat. Pemimpin adalah orang-orang pilihan di antara orang-orang lainnya dan pilihan itu didasarkan pada beberapa kelebihan tertentu yang menyebabkan ia dipercaya untuk menjadi pemimpin.  Maka kepercayaan yang diterimanya harus dijaga dan dipelihara dengan membuktikan melalui tindakan-tindakan nyata melayani rakyat dan menghindari hal-hal yang membuat orang kehilangan kepercayaan kepadanya. Bila seorang pemimpin mengkhianati dan kehilangan kepercayaan dari organisasi dan rakyat yang dipimpinnya maka sebenarnya ia sudah kehilangan roh kepemimpinannya, walaupun jabatan formal sebagai pemimpin masih melekat padanya.
Sebagai perumpamaan, sekelompok masyarakat memiliki keterampilan memproduksi aneka kerajinan tangan tetapi mengalami keterbatasan modal kerja dan pemasaran produk-produk lokal yang dihasilkan. Pemimpin-pelayan dapat mengambil keputusan untuk mewajibkan masyarakat menggunakan produk lokal untuk membantu industri kecil atau rumah tangga di desa-desa. Keputusan yang berpihak pada rakyat kecil akan didukung oleh masyarakat luas, apalagi bila dipelopori oleh para pemimpin atau pejabat yang berpihak terhadap produk lokal.
Bertambahnya usia seorang pemimpin mengakibatkan kemampuan fisik dan daya pikirnya berkurang dan proses regenerasi tidak dapat dihindari. Dalam kenyataannya, sifat legowo makin sulit ditemukan pada diri para pemimpin kita.  Mereka cenderung berkeinginan selama mungkin berkuasa, sementara kader-kader potensial tersingkir karena faktor usia atau faktor-faktor lain. Pemimpin-pelayan mendidik dan melatih pengganti karena ia tidak berorientasi pada kekuasaan semata, tetapi pada pelayanan. Baginya purnatugas identik dengan alih tugas karena masih banyak tugas-tugas pelayanan lain yang bisa dilakukannya di tengah masyarakat.
Pemimpin-pelayan menggunakan manajemen  Omega yaitu gaya kepemimpinan Alpa yang maskulin dan Beta yang feminin, sebab dengan mengendalikan energi spiritual, baik laki-laki maupun perempuan bisa diberdayakan menjadi pemimpin-pemimpin yang dibutuhkan pada masa mendatang.  SDM kaum perempuan memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang tidak dimiliki kaum laki-laki. Pemimpin harus pandai-pandai menggunakan kemampuan kaum perempuan untuk keberhasilan tugas organisasinya.
Yang lebih penting, kata Leo, pemimpin-pelayan bisa menciptakan komunikasi dengan orang-orang yang dipimpinnya sehingga dapat menyerap aspirasi rakyat untuk bahan penentu kebijaksanaannya. Kepemimpinan yang melayani bisa dikembangkan sebagai suatu model kepemimpinan untuk membantu mengatasi krisis kepemimpinan Saat ini.
 Patron dalam Kepemimpinan Batak
Bagi orang Batak, tempat tanah kelahiran itu disebut kampung halaman. Tempat kelahirannya bisa saja di tanah perantauan, tetapi yang namanya Bona Pasogit harus terus diingat. Bona Pasogit adalah asal kakek-moyang, asal marga. Leo lahir di Tanah Melayu, tetapi bukan hanya negeri melayu itu yang diingatnya, juga Bona Pasogitnya. Leo adalah marga Nababan. Dari marga Nababan Leo adalah keturunan ke-19. Asal marga Nababan berasal dari Siborongborong, Tapanuli Utara. Leo amat mencintai kampungnya.
Jika bicara kepeimpinan, dalam budaya Batak juga sudah hadir. Pimpinan (Uluan) adalah adalah orang yang harus berada di tengah-tengah masyarakat Batak. Jauh berabad-abad lalu, sebelum kekristenan dan penjajahan Belanda datang ke Tanah Batak, ada persekutuan persekutuan masyarakat yang bernama Bius. Bius adalah kesatuan wilayah dari beberapa Horja.
Horja adalah gabungan beberapa huta (kampung). Dalam persekutuan Bius tersebut masyarakat Batak mempunyai dua kepemimpinan atau dwi tunggal. Pada umumnya dalam kebudayaan Batak tidak mengenal pemimpin tunggal. Pimpinan yang pertama  adalah pemimpin sekuler (duniawi) dan disebut Raja Bius, yang kedua adalah pemimpin rohani yang disebut Pande Bolon. Dalam JC Vergowen/Prof.DR TO Ihromi: Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, hal.147.
Bagi Leo sadar betul bahwa bahwa Raja, dalam konsep Batak, sang pemimpin sekuler dimaknai sebagai konsep kepemimpinan sekuler Batak : Raja Bius, Raja Horja maupun Raja. Konsep kepemimpinan Batak termaksud. Terungkap juga dengan sangat jelas betapa besar kewajiban dan tanggung jawab seorang Raja terhadap rakyatnya. Tanggung jawab yang besar membuat sang Raja selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya dan karenanya dia bisa sampai tidak tidur.
Bagi Leo bahwa menjadi pemimpin itu harus menjadi patron, teladan. “Jangan sampai seorang pemimpin hanya bisa menyuruh, tetapi tidak bisa membuktikan dan memberikan teladan. Pemimpin harus juga bisa menjadi teladan. Sebab dunia selalu membutuhkan teladan. Pemimpin di dunia ini tidak banyak yang menjadi teladan. Keterkaitan antara kondisi di mana setiap manusia akan pasti membutuhkan keberadaan manusia yang lain.
Bagi Leo, manusia bisa bertumbuh jika ada model, sosok yang ditiru. Bagi Leo yang ditirunya, dulu, waktu masih kecil adalah ayahnya. Bahagia dalam didikan ayahnya yang seorang guru jemaat. Walau masa kecil Leo penuh onak dan duri, saking banyak diri yang dideranya, secara ekonomi sangat pas-pasan. Tetapi sosok ayah yang tidak penah menyerah pada keadaan menjadi patron bagi Leo. “Saya waktu kecil membantu orangtua mengembalakan kerbau, menjaga bebek, memberi makan ayam. Itu semua sudah biasa kita lakoni,” ujarnya mengenang.
Maka, benarlah kata Leo teladan itu penting. Di mana yang satu tidak akan bisa berdiri tegak tanpa ada pihak lain yang menjadi acuan, dalam hal ini ayah dari Leo menjadi patronnya.”Keteladanan memberikan pemahaman baru, datang dari pikiran yang otentik, hati yang jernih, sifat penolong, dan perilaku yanggenuine. Kalau masih hidup egois, angkat telor, pilih kasih, kasar, membeda-bedakan orang bahkan masih menyemai intolerasi; banyak hal yang jahat muncul, kejahatan akan menyeruak,”katanya lagi.
Dalam Alkitab disebutkan, besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya. Hal ini amini benar oleh Leo. Bila dianalogikan manusia saling membantu dan berbagi, saling memberitahu dan mengingatkan apabila prinsip positif besi yang dapat menajamkan besi, manusia menjamkan manusia. Patron adalah par-excellence. Ia, yang baik akan menganggap bahwa ada tanggung jawab moral, menjadi teladan bagi pengikutnya adalah pemimpin yang menjadari diri sebagai panggilan yang harus dijalankan.
Dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu. Maka bagi Leo, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesame serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
“Seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang mengetahui suatu jalan, kemudian melangkah ke jalan tersebut dan menunjukkan jalan itu pada orang lain.” Semangat itu yang dilakukan Leo. Jika ada orang muda duduk mendengarkannya, dia akan memberikan berbagai prinsip dan hal-hal uang berkaitan dengan masalah kehidupan. Berulang-ulang diselalu katakan. Untuk mencari teman pertama jadilah sahabat yang baik. Lalu, untuk menjadi sahabat yang baik jadilah orang yang memberikan perhatina, kepedulian. Lalu, agar kepemiminan tumbuh, katanya selalulah bertanggung-jawab. Itu bagi dia perinsip.
“Seorang pemimpi harus berani bertindak. Mengerti akan arti keberanian melalui iman. Patron diburu banyak orang.  Tetapi hanya orang yang hidup dengan iman, merupakan teladan, yang baik yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan. Hal itu terlihat saat sehari-hari, ketika menghadapi sulit. Ketauladanan itu tetap mekar bak pohon di tepi sungai.”
Bagi dia apa yang dilakukan seorang pemimpin tentu pengaruhnya akan berdampak pada tindakan yang dia buat. Setiap tindakan dari seorang yang disebut pemimpin pasti punya pengaruh terhadap orang lain. Manusia merupakan individu yang tidak bisa hidup sendiri di atas bumi ini. Ia, selalu memerlukan orang lain dalam mengisi kehidupannya. Lagi-lagi menjadi teladan yang baik sangatlah dirindu. Patron diawali  dengan lebih dulu mengubahkan dirinya sendiri, baru mengubah orang lain. Model itu, patron kepemimpinan ditunjukkan Yesus, memberikan teladan melayani. Model patron, pengaruhkelakuan-kepemimpinan yang akan mengubahkan banyak orang. Lalu, apakah kita mau menjadi patron?
Bagi Leo Nababan, menyadari dalam konsep kepemimpinan Batak seorang yang adil dan bijaksana,  dan dalam memimpin dia tidak boleh menggunakan kekerasan. Karena itu seorang Raja  juga akan selalu berusaha mengelak untuk memaksakan kehendaknya dengan mengatakan: sebagai Raja (atau sebagai Uluan) saya memutuskan atau memerintahkan begini dan begitu, tetapi dia harus bisa mempergunakan kemampuan dan kekuasaan yang ada di tangannya dengan keteladanan dan daya persuasi yang tinggi sehingga dia dipatuhi. Leo sadar benar artti pentingnya kearifan budaya yang juga sedari dulu telaha da konsep kepemimpinan dalam busaya Batak.
Leo memang politisi yang elegan. Ketika pemilihan presiden tahun 2009. Saat ada kampanye hitam dengan menyebarkan foto kopi sebuah berita koran yang menyebutkan isteri cawapres Boediono bukan muslim di Medan, lalu berlanjut kesalahan lain dilakukan Andi Mallarangeng. Pernyataan Ketua DPP Partai Demokrat ini yang juga anggota Tim Sukses Capres dan Cawapres SBY-Boediono, menuai banyak kecaman.
Melalui ucapannya, Andi Mallarangeng dinilai telah membunuh prinsip demokrasi dan semangat persatuan kesatuan bangsa serta berisiko mengundang konflik anggota. Leo Nababan sebagai Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto, dengan elengan mengatakan kita harus berpolitik santun. Menurutnya tidak boleh melakukan berbagai cara untuk sebuah jabatan, apalagi jabatan untuk kepemimpinan nasional. Menurut Leo, kepemimpinan nasional milik semua warga dari suku mana pun. Karena itu, pernyataan Andi dinilai mencederai konstitusi yang menjunjung tinggi semangat NKRI dan penghargaan terhadap suku, agama, dan golongan.
“Dalam Pilkada 2012 di DKI Jakarta, persoalan SARA kembali muncul dan dijadikan sebagai ajang politik untuk menjatuhkan lawan.  Sampai kapan bangsa ini meninggalkan cara-cara yang tidak etis dalam menjunjung demokrasi?” tanya Leo Nababan.    Menurut Leo Nababan, kemenangan Jokowi-Ahok didasarkan pada syarat demokrasi yang sudah matang.  Rata-rata pendidikan diatas SMA dan rata-rata pendapatan di atas 10.000 seperti diulas di depan.
 Merindukan HKBP Bebas Politik
Sinode Godang HKBP sebagai hajatan yang sangat istimewa, bakal digelar pada  10-16 September 2012 di Seminarium Sipoholon. Sinode Godang ini mengambil tema “Gabe jolma na tang jala matoras situtu mangihuthon hagogok ni rimpas ni Kristus” (Efesus 4:13b). Sebelum di Sinode Godang terlebih dulu digelar rapat di tingkat Huria, Resort, Distrik. Di akhir Sinode Godang memilih ephorus baru.
Banyak harapan yang digantungkan pada Sinode Godang. Bagi jemaat HKBP Sinode Godang itu memberikan seberkas cahaya untuk menerangi jalan HKBP ke depan. Leo Nababan, sebagai tokoh muda Batak, berharap Sinode Godang itu dapat memberikan yang terbaik. Bagi Leo, kita tidak menyadari, tanpa sadar dan sengaja, selama ini Sinode Godang HKBP telah berlangsung sangat hiruk-pikuk dan hampir tidak berbeda dengan pertemuan-pertemuan organisasi massa atau partai politik.
Jemaat HKBP Jalan Jambu, Menteng ini merasa galau jika gereja diseret-seret ke ranah politik. Pendapatnya, melihat sebelumnya sebelum Sinode Agung itu pemilihan Ephorus sudah ada deklarasi para calon. “Sinode Godang adalah momentum untuk terus membenahi HKBP. Sinode Godang HKBP ini banyak mengemban tugas untuk mempertimbangkan dan menerima laporan pimpinan HKBP, menetapkan rencana strategis HKBP, menetapkan sikap umum HKBP memilih Ephorus, Sekjend, Kepala Departemen dan Praeses,” katanya.
Maka, kalau ada ujug-ujug, ada beberapa calon yang mendeklarasikan diri dan membentuk tim sukses. Bagi Leo, itu berbahaya. Kita harus beberkan hal seperti ini, ini penyimpangan iman. Ini menjadi ancaman ke depan kalau sudah kita buat gereja seperti partai politik. Karena bagaimana pun hal ini sudah melanggar dari habitusnya.
Bagi Leo, momentum dalam Sinode Godang ini harus digelar dengan baik dan benar, tanpa harus ada hiruk pikuk politik di sana. Sebagai seorang warga jemaat HKBP, kata Leo, kita berharap ada perubahan yang baru, taradisi yang baru, paradigma yang baru untuk pemimpin HKBP yang akan datang. Diantaranya, ada perubahan dan peraturan yang baru sama sekali. Dalam arti berpikirnya koseptual integral. Peraturan yang selama ini menghabat kepemimpin di HKBP, harus dibongkar habis.
Apa yang harus dibongkar? Tentu bagi Leo, tohonan ephorus itu memang tahta suci. Tetapi fungsi dan strategis dari jabatan ephorus harus diawasi. Salah satunya adalah lembaga pengawas perlu ada. Sampai sekarang ini tidak ada lembaga yang mengawasi tugas-tugas dari pimpinan HKBP. “Sebenarnya dulu sudah pernah hal ini dilontarkan pada Sinode Godang sebelumnya, tetapi ini tidak pernah direalisasikan. Apa pentingnya dewan pegawas? Tidak boleh lagi ada kesewengan-wenangan, karena ada lembaga yang mengawasi. Jadi tidak semua-muanya dilakukan ephorus.”
Leo mengusulkan ini baik ke depan, ini baik ke depan diterapkan di HKBP. Kalau kita contoh, NU memiliki dewan Mustasyar (Penasihat), Syuriyah (Pimpinan tertinggi), Tanfidziyah (Pelaksana Harian). Tetapi tidak persis begitu. “Saya mimpi ke dalam HKBP ini agar Sinode Godang harus melibatkan seluruh jemaat dari seluruh latar profesi, jender dan pendidikan. Baik muda dan tua. Saya kira, kata Leo, memang benar HKBP hanya organisasi keagamaan, tetapi juga sekaligus lembaga yang memikirkan pendidikan dan sosial. Maka ada Kononia, Marturia, Diakonia.”
Kerinduan terhadap HKBP
Jangan tanya kerinduannya pada HKBP. Baginya, HKBP adalah seperti seorang orangtua yang membimbing anaknya dewasa dan mandiri. Berulang-ulang dia selalu mengatakan “Saya amat mencintai HKBP. Terus terang saya dibesarkan oleh HKBP. Bapak saya adalah dulu seorang guru huria dari HKBP. Saya tidak mungkin lepas dari HKBP. Saya dibesarkan oleh beras HKBP.  Bagi saya, HKBP bukan hanya miliki para hamba Tuhan, pendeta, parhalado, tetapi seluruhstakeholder dari jemaat HKBP. Mereka tentu harus dilibatkan.”
Karena itu, bagi Leo pimpinan puncuk HKBP mesti memberikan ruang, seluruhnya jemaat harus dilibatkan. Bila penting dikasih ruang meminta pendapat dari mahasiswa, pengusaha, pendidik, politisi, kaum-ibu-ibu, naposo, sekolah minggu dan lainnya. Artinya mereka didengar pendapatnya. Bila penting diberikan ruang untuk seminar khusus mendengarkan pendapat seluruh elemen yang ada di HKBP sebelum dilangsungkan Sinode Godang.
Tapi sukur, kata Leo Sinode Godang sudah selesai digelar tidak ada hiruk pikuk politik seperti yang disebutkan itu.  Sudah terpilih pejabat baru di HKBP periode 2012-2016.  Pendeta WTP Simarmata, MA, sebagai Ephorus baru, dan Pdt Mori A.P. Sihombing MTh sebagai Sekretaris Jenderal.
Leo Nababan sedih kalau fungsi Keephorusan HKBP dibuat seperti jabatan Ketua Umum partai atau ormas.  Menurut Leo, itu tidak dapat dibenarkan karena ephorus adalah pelayanan dan panggilan sehingga tidak pantas seorang calon ephorus mengandalkan tim sukses.  Para sinodestan diharapkan jangan terpengaruh terhadap para tim sukses karena yang dipilih adalah seorang pemimpin gereja, bukan Ketua partai.  “Bagi saya HKBP adalah Batak, karena kalau HKBP sudah rusak orang Batak juga akan rusak. Jangan sampai Nommensen kedua datang ke Tanah Batak. Unang dipolitiki parhuriansotung sega negara on. Kalau mau berpolitik masuk saja ke partai politik. Jangan berpolitik di gereja,” katanya.
Lalu, apa yang harus diperankan gereja terbesar di Asia Tenggara itu. “Saya kira kehadiran HKBP banyak hal yang bisa dilakukannya. Misalnya, sekiranya HKBP terlibat aktif dalam mengusung Provinsi Tapanuli akan jadi. Tetapi belum terlambat,” tambahnya.
 Hiruk-pikuk politik
Bagi Leo, Gereja, walau bukan partai politik seringkali digelar seperti organisasi sekuler, atau partai politik. Walau bagi dia, ranah politik itu untuk membicarakan kepentingan umum. Politik adalah ruang untuk membicarakan kepentingan umum. Mengelola hidup bersama.  Tetapi ranah politik dan gereja dua hal yang berbeda.
Bagi Leo harus dipisahkan. Jangan sampai gereja ikut berpolitik. Walau gereja perlu memberikan pencerah pada jemaatnya. Leo mengaku pernah dihubungi beberapa orang, calon ephorus dan tim suksesnya. “Saya diminta jadi tim sukses. Saya menjawab tegas. Saya tidak mau terlibat dalam hal ini. Karena ini wilayah yang harus kita hormat, sakral. Jangan sampai ini digelar seperti pemilihan partai.”
“HKBP perlu belajar dari Katolik, bagaimana mereka memilih pemimpin mereka, Paus. Para kardinal terlebih dahulu diberikan tempat untuk berdoa masing-masing. Saya tidak bermaksud seperti itu, yang saya mau katakan adalah betapa sakral hal tersebut, katanya lagi.
Maka, bagi Leo, tatkala ada tim sukses yang memperjuangkan calon yang satu untuk ephorus, itu, bagi Leo sudah politisasi, “itu eforia politik,” katanya. Saya dengan tegas katakan, kalau ada orang yang membentuk tim sukses untuk mencalonkan ephorus saya katakan hati-hati. Terkutuklah orang yang mengadalkan manusia. Terkutuklah orang yang mengandalkan tim sukses. Kalau dalam ranah politik misalnya, saya terlibat itu betul. Tetapi kalau di gereja juga berpolitik untuk mencari jabatan itu amat naif. Sekali lagi itu jabatan yang sakral, yang tidak sembarang untuk dipilih, kata Leo.
“Saya dengan tegas katakan, jangan coba-coba bermain politik dalam pemilihan ephorus. Sekali kita mengunakan politik di gereja, rusaklah kita. Saya kira para calon terlebih dahulu berdoa pada Tuhan. Lalu mengaca diri, apakah mereka sanggup dan mampu mengemban tanggung-jawab itu. Karena dengan demikian mereka akan memberi. Karena itu saya mengimbau seluruh peserta Sinode Godang yang memilih pemimpin HKBP kelak, jangan pilih orang yang sudah membuat tim sukses. Pilihlah orang yang tidak memiliki tim sukses.  Tetapi yang mengandalkan Tuhan dan rekam jejaknya terpuji,” ujar Leo menghimbau.
Leo menambahkan, bagi para politisi Batak yang berjemaat di HKBP agar sampai jangan dicoba-coba ikut menjadi salah satu pendukung, atau tim sukses dari satu tujuan yang benar. “Saya mengibau, yang pengusaha-penguasa juga jangan coba-coba melakukan ikut tim sukses. Saya kira ini penting dingatkan agar mereka jangan memberikan dukungan. Agar jangan Tuhan mengutuk kita. Kalau pemilihan Ephorus yang sakral kita sudah melakukannya dengan sukacita.”
Bagi Leo, HKBP harus belajar dari masa lalu. “Gereja itu bukan partai politik. Kalau ada target-target politik jangan pakai gereja dong, ini berbahaya. Sangat berbahaya. Kita sudah harus belajar dari masa lalu,” ujarnya berharap.
 Berpolitik Santun
Di ranah politik, apalagi di partai Golkar nama Ir. Leo Nababan bukan nama asing. Sejak masih di kampung, kemampuan oragnisatorisnya sudah terbentuk. Di kalangan Golkar, apalagi di Sumatera Utara, Leo selalu menunjukkan semangat berpolitik santun. Selalu menerapkan semangat semangat bekerjasama. Sebagai Koordinator Provinsi (Korprov) Sumut DPP P Golkar Ir Leo Nababan, misalnya,  memimpin konsolidasi DPD P Golkar Kota Sibolga dan DPD P Golkar Kab Tapteng, Rabu (10/11) di Aula Hotel Prima Indah Sibolga dan merekomendasikan Drs H Syarfi Hutauruk menjadi Ketua DPO (Dewan Pertimbangan Organisasi) Partai Golkar Kota Sibolga.
Bayangkan saat itu saudara Sarfi Hutahuruk dan saudara Cahlul Situmeang berseturu dan Leo tahu keduanya bukan pendukung Leo pribadi saat pencalegan.  Tetapi Leo harus bertindak adil, dan berhasil keduanya didamaikan oleh Leo.  Sampai sekarang, keduanya adalah sahabat sejati Leo.  Fungsi Walikota dan Ketua DPRD berjalan lancar sampai sekarang.
“Ketua DPD Golkar Kota Sibolga diberi waktu satu bulan untuk menyusun komposisi dan personalia kepengurusan Partai Golkar Kota Sibolga termasuk mendukung dan mengawal pemerintahan daerah di Sibolga dalam rangka mensukseskan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat,” katanya ketika ditanya soal Rapat Konsolidasi didampingi Ketua DPO Partai Golkar Kota Sibolga Syarfi Hutauruk, pengurus DPP Golkar Imannuel Belegur dan Yusuf. Leo, juga menginstruksikan seluruh kader di daerah setempat untuk mendukung pelaksanaan rekonsiliasi dalam rangka mensukseskan perolehan suara partai di Pemilu.
Bagi Leo, berpolitik itu bukan akal-akalan. Berpolitik itu bisa santun. Kesantuan berpolitik dapat dibaca, semakin santun seorang pemimpin semakin akan memperliahatkan tanggung-jawabnya terhadap bangsa. Kesantunan berpolitik bagi Leo, adalah moral, bukan untuk untuk topeng. Kesantunan semakin tinggi diharapkan dari para politisi saat ini. Kesantunan dengan kata lain bagi Leo adalah integritas. Maka, jangan sampai kita hilang kepercayaan.
Kalau kepercayaan sudah hilang dari diri kita, kita sudah hancur. Di politik kata itu selalu tergiang di telinga Leo. Kesantunan bukan diniatkan untuk membasuh dosa-dosa politik. Tetapi, kesantunan adalah tanggung jawab moral dalam berpolitik. Bagi Leo Nababan yang juga Wakil Sekjen DPP Partai Golkar mengemukakan, sikap berpolitik santun harus selalu melekat dari diri politisi kita. Di Kosgoro 1957, semangat ini itu selalu didengungkannya.
Maka, tak heran Leo selalu mendapat kemudahan. Saya selalu dihinggapi berkat, demikian terucap kalimat dari Ir Leo Nababan. “Saya banyak berkat yang tidak saya bisa hitung. Di umur 50 tahun ini, saya menjadikan hal itu sebagai bahan untuk terus-menerus mengucap syukur. Lahir bukan dari keluarga yang berada. Ditempa oleh berbagai kondisi ekonomi yang membelit. Lalu, sewaktu remaja di kampung halaman sudah mulai bekerja berbagai hal untuk bisa menutupi tambahan uang sekolah.
“Kalau saya hitung-hitung, penghargaan yang saya terima itu bukan karena kekuatanku, tetapi semata-mata karena Tuhan, kata Leo. Kalau mengitung perhargaan, sejak tahun 1994, Leo telah menerima penghargaan terbaik 1 (Pertama) Penataran Kewaspadaan Nasional (TARPADNAS) Pemuda Tingkat Nasional. Lalu, Tahun 1995: Terbaik 10 (Sepuluh) Penataran P4 Pemuda Tingkat Nasional. Dan Tahun 1997: Terbaik 1 (Pertama) Internasional Standard Learning System (Effectiv Communication and Interpersonal Relation Skill). Belum lagi, Tahun 2006 dia mengikuti: KRA– XXXIX Lemhannas RI, pendidikan yang tidak sembarangan diberikan pada putra-putra terbaik bangsa. Pendidikan untuk calon pemimpin, katanya.
 Membuang kemunafikan
Kata kunci dalam kehidupan ini, menurutnya adalah jangan ada kemunafikan.  Bagi saya, kata Leo, kesalahan kita mengapa bangsa ini tidak maju-maju karena adanya kemunafikan. Tidak satunya pekataan dan perbuatan. Kemunafikan menjadi pengganjal kita melihat dengan jernih apa yang salah dalam diri kita. Kalau kita mengaku kesalahan kita, maka hati kita menjadi alat uji yang paling mujarab.
Maka, bagi Leo, karena manusia seringkali munafik. “Kita seringkali tidak mampu, tetapi kita meras mampu. Sebab hanya kita sendiri dan Tuhanlah yang paling tahu motivasi sesungguhnya pada perbuatan dan perkataan kita. Seorang anak kecil, kata Leo yang bertumbuh jadi remaja, bisa lihai berbohong dan mengejek teman-temannya. Sehingga dia dikeluarkan dari sekolahnya karena perkataan dan perbuatannya yang licik banyak merugikan teman–temannya. Bagi saya dengan kasus di atas, anak itu jelas menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih kebiasaan buruknya ketimbang berubah. Ya, suatu kesengajaan yang dikehendaki. Kita pun bisa terjebak dengan situasi di atas. Dimana hati kita menjadi batu, mengeras, membeku. Kita memilih untuk tidak berubah, itulah suatu kesengajaan kemunafikan,” ujar Leo.
Leo Nababan memiliki pengalaman empiris soal kemunafikan ini yang kita alami saat ini.  Ambil contoh soal judi.  Hampir setiap minggu, ratusan milyar uang dari dalam negeri mengalir ke meja judi di seluruh dunia.  Kebetulan, Leo sering mendampingi kawan berjudi di kasino hampir di seluruh dunia, karena, perut Leo dianggap kawannya sebagai dewa keberuntungan yang membawa hoki.  Ada 12 kasino di seluruh dunia pernah didatanginya.  Yang disayangkan adalah, tidak ada tempat judi di dunia yang didatangi yang tidak ada orang Indonesianya.  “Sampai kapan kemunafikan ini akan bertahan?” tanya Leo.
Dapat dibayangkan jika ratusan bahkan ribuan orang Indonesia yang berjudi tiap bulan ke luar negeri.  Kalaulah kita tidak munafik, judi bisa dilokalisasir di satu pulau, misalnya di pulau Samosir atau pulau Bali, di Papua atau di pulau Lembe, Sulawesi Utara, maka orang-orang Indonesia akan berjudi di Indonesia dan tentu tidak membawa devisa untuk luar negeri.  Leo kaget, sewaktu bersama kawannya menang di Las Vegas, sang kawan harus membayar 25% untuk negara Amerika Serikat.  “Saya tidak bisa bayangkan, berapa uang masuk pajak negara bila uang itu tidak dijudikan di luar negeri,” tutur Leo.  Sekali lagi, pertanyaan besar Leo Nababan, sampai kapan, sampai generasi ke berapa kasus kemunafikan judi ini akan bergulir?
Pengalaman lain soal kemunafikan bangsa ini tercermin dalam kasus Lady Gaga.  Hampir satu bulan penuh, energi bangsa ini sia-sia membicarakan tentang Lady Gaga.  Kalau kita jujur, anak-anak kita pun di rumah hanya tinggal pencet ladygaga.com di internet, mereka sudah mendapat informasi tentang Lady Gaga. Yang kita lihat adalah, hiruk pikuk Lady Gaga yang menguras tenaga bangsa.  Berbeda dengan negara lain, Thailand dan Filipina juga ada anti Lady Gaga, tapi tugas kepolisian menjaga kamtibmas sehingga di kedua negara tersebut berlangsung konser Lady Gaga.  Tapi kita gagal sehingga ada ribuan remaja Indonesia harus menyeberang ke Singapura hanya untuk menonton Lady Gaga.  Dalam hal ini, negara tidak boleh dikalahkan oleh ormas atau tekanan siapapun.  Sudah tentu ini menyedot devisa Negara. Pertanyaan kembali, sampai generasi kapan bangsa tercinta ditipu oleh kemunafikan ini?
Tulus seperti merpati, cerdik seperti ular adalah menurut Leo adalah kata-kata hikmat yang perlu dipakai dalam menjalankan hidup. Mungkin itulah sikap yang perlu kita kembangkan. Bagi saya pribadi, kata Leo, menjadi diri saya sendiri adalah saat yang paling menyenangkan dan membahagiakan. Tidak perlu menggunakan topeng kehidupan. Karena itu, bagi Leo kata kunci, sebagaimana penglihatannya dari sisi budaya, menjadi bahagia dengan menanggalkan topeng kemunafikan. Berganti dengan apa adanya disertai hikmat dan kemurnian hati.
Leo memandang, seiring dengan pesatnya kemajuan zaman, budaya global kecenderungan mengarahkan eksistensi manusia untuk pemenuhan dan pemuasan aspek materialistis saja. Orang Batak juga sepertinya terikut-ikut dalam arus ini yang ditandai dengan penguatan falsafah ‘3 H’ yakni Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (keturunan/generasi) dan Hasangapon (kehormatan).  Bahwa eksistensi manusia dapat dikatakan sempurna apabila memiliki ketiga unsur H ini. Prinsip 3 H inilah yang kerap menjadi motivasi utama orang Batak dalam perjalanan hidupnya. Target pencapaian/pemenuhan 3 H kerap telah menyebabkan orang Batak ‘menghalalkan’ segala cara. Persaingan yang muncul dalam upaya pencapaian 3 H ini juga kerap memunculkan sikap HOTEL (Hosom, Teal, Elat, Late: iri, dengki, sirik, benci) antar sesama orang Batak.
Oleh sebab itulah falsafat ‘3 H’ inilah yang tanpa kita sadari menjadi tantangan dan godaan bagi orang Batak dalam peneguhan Iman Kekristenannya saat ini. Dalam konteks ini, Leo bermaksu menyatakan bahwa prinsip ‘3 H’ itu tidak penting. Sebagai manusia biasa, penulis menyatakan bahwa falsafah ‘3 H’ itu tetap penting namun bukan yang terpenting dalam motivasi hidup. Sudah saatnya kita merubah falsafah ‘3 H’ menjadi falsafah ‘5 H’ dengan mereposisi prinsip ‘3 H’ tersebut diurutan terbelakang dengan demikian urutan falsafahnya menjadi: 1) Haporseaon (Iman Kepercayaan), 2) Hadameon (Kasih), 3) Hamoraon (Kekayaan), 4) Hagabeon (Keturunan/generasi) dan 5) Hasangapon (kehormatan). Falsafah nomor 1 dan 2 terletak dalam dimensi vertikal dan falsafah 3, 4 dan 5 terletak dalam dimensi horizontal, suatu penggambaran dan pemaknaan Salib Kristus.
Maka,  di tengah-tengah kondisi yang memperlihatkan terjadinya Krisis Iman dan degradasi nilai-nilai Budaya dan Adat Istiadat Batak, kita mesti terpanggil untuk lebih meneguhkan jati dirinya sebagai Gereja yang bertubuhkan Kristus, hidup dalam penggembalaan semua bangsa khususnya orang Batak yang berjati diri dalam Budaya dan Adat Istiadat Batak.
 Memperjuangkan Semangat Keberagaman
Bagi Leo Nababan pengalaman sejak kecil telah membentuknya sebagai pribadi orang yang mengharagai perbedaan. Kita boleh berbeda, tetapi tidak boleh bermusuhan. Perbedaan adalah keluhuran bersikap menerima pendapat, iman orang lain. Perbedaan bagi Leo adalah rahmat yang harus dijaga, apalagi dibingkai dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya walau berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Di masa kecil Leo sudah biasa berdampingan dengan orang lain yang berbeda suku, agama dengan dia. “Kalau kita menerima perbedaan, maka kita kuat,” ujarnya.
Soal pengharagaan dalam perbedaan itu, oleh Leo diterapkan dilingkungan rumahnya di Jalan Kayu Manis, Jakarta Timur. Walau dia seorang Kristen, Leo mau dan tulus menjadi Ketua Panitia seksi dana pembangunan Masjid di lingkungan di mana dia tinggal. “Kalau kau tanya di lingkungan ini, pasti mereka kenal saya. Mereka tahu saya Kristen, tetapi mereka percaya saya dengan tulus mencari dana untuk pembangunan Masjid,” ceritanya satu waktu.
Maka, bagi Leo keberangaman tak mungkin dihindari. Kita di dunia, bukan di langit. Alam dan segala isinya sudah dicipta beragam. Bicara keberagaman tentu bersinggungan dengan berbagaian. Ibarat taman bunga, taman itu indah karena di sana tumbuh bermacam-macam bunga, kata Bung Karno.
Menghargai dan mendayagunakan keberagaman, menjadi wadah yang bersifat universal. Memang itulah, keberagaman harus dikelola dengan baik, dirajut menjadi baju yang tidak menghilangkan kotak. Sebab kalau tidak dikelola dengan baik akan terjadi ketengangan yang amat tinggi. Disinilah letak keindahannya, keberagaman menjadi bernilai. Ketika ruang keberagaman, halamannya diperluas, tanpa mengusur lahan dari identitas seragam.
Tak ayal lagi di era sekarang ini, semangat pengkotak-kotakn itu makin kontras. Semangat orang menyebut “kami” bukan “kita” sudah menjadi sebuah hal yang biasa. Sejak dulu kepingan kotak-kotak selalu diterpa kata kami bukan kita.
Bagi kelompok yang sependapat, misalnya, ada yang menyebutkan pondasi nasionalisme itu muncul ketika Syarikat Islam (SI) dibentuk H.O.S Cokroaminoto dan kawan-kawan, lalu diadopsi Boedhi Oetomo (BO). Tapi ada yang tidak setuju yang menyebut SI lahir bukan untuk mendorong kemerdekaan. Tetapi lebih pada perjuangan untuk perdagangan yang berlabel agama.
Demikian hal-nya BO hanya gerakan kebudayaan. Dalam perjalannya pun tidak pernah berhasrat mengusung Indonesia merdeka. Sebenarnya, kalau kita menghargai keberagaman, tidak perlu dihitung porsinya. Memperjuangkan kesetaraan pendidikan bagi orang Jawa dan Madura pun bisa disebut perjuangan yang sama, mengugah nasionalisme. Kita tidak bisa melihat itu hanya tataran sukuisme yang sempit.
Bagi Leo, sesungguhnya bangsa ini dibangun atas kebersamaan, bukan atas golongan. Tetapi diperjuangkan dari berbagai latar belakang dan kelompok yang kemudian dirajut menjadi semangat kebangsaan, nasionalisme. Ibarat bangunan, republik ini dibangun di atas latar berbagi pijakan identitas, untuk pondasi pengokohannya. Manakala bangunan itu menjadi goyah saat semangat nasionalisme hilang. Batu-batu identitas dipereteli. Jika pondasi sudah dirusak itu artinya sebentar lagi bangunan akan amblas.
Mengutamakan agama (kami) sendiri, memberangus agama orang lain. Mengedepankan suku (kami) sendiri mengabaikan suku lain. Sejak didirikan Indonesia bangsa demokrasi yang mengakui multikurtural, pluralis. Kebudayaan yang sangat beragam yang tersebar di seluruh Nusantara, menjadi kenyataan yang tidak boleh diingkari. Maka, kalau sudah kita tersadar,  seharusnya kata menjadi kita, bukan kami yang menonjol.
Keberagaman juga bermakna spirit, menyelam di kedalaman pengalaman kehadiran orang lain. Setiap ruang-ruang yang ada harus menjadi ruang bagi keberagaman. Oleh sebabnya, simbol-simbol keberagaman antar suku, kepercayaan, agama, budaya, perlu disirami dengan kebangsaan. Memaknainya dengan pemahaman bahwa berbeda itu adalah sebuah keniscayaan. Kalau maju jujur, masih banyaknya konflik yang mendera kita. Itu terjadi karena yang ada intoleransi. Hilangnya semangat kebangsaan. Tentu keruwetanlah yang hadir. Selama ini segelintir kelompok yang anti kebangsaan, anti toleransi, anti keberangaman, mereka itulah yang lantam bersuara.
Pesan moral kebangsaan, bahwa keberbagaian sesuatu yang harus ditanam dan dirawat di dalam sanubari kita. Bahwa kita berbeda itu fakta. Tetapi tak usaha dipertentangkan lagi, jangan didebatkan lagi. Jangan tercerabut lagi akar keberagaman kita. Justru harus promosikan, keberagaman itulah ciri Indonesia. Dengan kekuatan keberbagaian itulah Indonesia tetap berdiri tegak. Sebab, kita semua lahir dari rahim Ibu Pertiwi yang sama, saudara sebangsa.  Kata kunci (key word) adalah membumikan empat pilar bangsa yaitu, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinekaan disetiap sanubari anak bangsa.
 Merawat Filosofi Dalihan Na Tolu
Sebagai seorang putra Batak, Leo yang nasionalis itu pun tak mau tercerabut dari akar budayanya budaya Batak. Kita masing-masing punya identitas. Saya tidak mau kehilangan identitas kebatakan saya. Saya percaya bahwa identitas itu harus dirawat. Sebagai orang Batak, walau bagi sebagai orang menilai, kelemahan orang Batak (Toba) adalah ketegasan menyampaikan sesuatu. Ada yang menyebut hal tersebut sebagai kekuatan.
Logatnya kasar tapi hatinya lembut. Dalam komunikasi si julluk mata nihorbomenyampaikan sesuatu secara langsung, tanpa tendeng aling-aling. Tidak ada penghalusan bahasa dalam menyampaikan sesuatu, terus terang, blak-balakan dalam menyampaikan sesuatu. Barangkali hal tersebut terbaca dari kalimat ”risi-risi hata ni jolma, lamet-lamet hata ni begu” yang artinya bahasa manusia kasar sementara kata-kata setan halus.
Namun, dibalik hal tersebut dalam budaya Batak ternyata banyak menyimpan ajaran luhur. Terbaca di torsa-torsa, turi-turian, atau umpasa, berkelindan melahirkan kearifan budaya kemudian menjadi Etos Habatahon. Dalam komunikasi mengajarkan, ”sungkun mulani hata sisi mulani uhum” yang berarti bertanya akan membuka dialog, sementara yang tidak mau bertanya memutus komunikasi. Kearifan bermasyarakat terlihat, ”pantun hagoluan tois hamatean” jika diartikan secara bebas adalah arogan akan membawa kematian, tetapi sopan santun sumber kehidupan.
Demikian pula dalam bidang pertanian ”boni dang jadi dudaon” bibit padi tidak boleh digiling untuk dimakan. Sebab jika digiling tidak bisa lagi menanam padi. Dalam beternak, ”parinaan ni manuk dang jadi seaton ” induk ayam tidak boleh dipotong. Sementara dalam hukum, ”handang dang jadi rasrason, napinarik dang jadi tolbakon”, parit sebagai pelindung kampung tidak bisa dirusak. Apa yang sudah ditetapkan bersama tidak boleh dilanggar. Sementara pesan untuk para agamawan, ”aek na litok tingkoran tu julu,” air yang kotor di muara dibersihkan di hulu.
Paradigma pendidikan Batak dalam mendidik anak-anak diawali dari pendidikan di rumah sebagai pembentukan mental, ”sian jabu asa tu alaman sian alaman asa tu balian,” dari rumah baru ke pekarangan, dari pekarangan baru ke sawah. Artinya mendahulukan pendidikan di rumah bisa berinteraksi ke dalam tetangga satu kampung, baru terjun ke dunia nyata, dunia kerja. Jika tahapan itu telah dilalui maka seseorang akan survive dimanapun berada.
 Etos Habatahon
Etos Habatahon mengkristal dari kearifan budaya, menjadi etos tersimpul dalam kalimat:
Porhatian sibola timbang
Parninggala sibola tali
Pamuro so marumbalang
Pormahan so marbotahi
Tinggala artinya bajak atau hudali yang berarti alat pembajak tanah. Tali disini diambil dari legenda Si Boru Deakparujar. Mitologi menyebut ia adalah ibunda manusia Batak yang naik-turun dari kayangan ke banua toga (bumi) dengan menggunakan tali “sitolu bolit sitolu borna”  benang berwarna merah, putih, dan hitam.
Pastor A.B Sinaga dalam bukunya Galasibot Permata Budaya Batak filosofi ini dipersingkat menjadi dua kalimat “Porhatian si bola timbang/Par-ninggala sibola tali” lalu disingkat galasibot. Galasibot mempertegas kearifan budaya Batak yang mengajarkan setiap orang harus bersikap adil. Hatinya harus lurus, layaknya seperti mata bajak membelah tali. Harus bisa terjamin padi tidak dimakan burung sekalipun tidak dijaga, ternak aman di ladang sekalipun tanpa ada menjaga. Hidup berjalan aman dan tertib bukan karena kuasa kuasa melainkan semata-mata karena filosofi budaya yang menjadi etos dalam menata diri.
Etos habatahon sebagai kearifan budaya ada privelise atau keterkaitannya dalam etos sehari-hari. Kearifan budaya menjadi etos budaya mampu membangun berdisiplin tinggi, bekerja keras, tidak berorientasi pada sukses material, tidak mengumbar hidup konsumeris, hemat dan menabung. Artinya, bagaimana menempatkan 3-H hagabegon (berketurunan), hamoraan (berharta), hasangapon (bermartabat).
Manusia Batak yang memiliki kepekaan terhadap kearifan budayanya akan mampu mengembangkan diri menjadi pribadi yang handal. Menerapkan kearifan budaya sebagai pemacu kerja bukanlah abu-abu, justru mewarnai apa-apa yang telah ada memunculkannya menjadi kearifan.
Kearifan budaya tidak bertolak-belakang pada agama. Etos Habatahon sejalan dengan ajaran moral agama-agama utama dunia. Sebab mengajarkan bonar, tigor, manat, elek (jujur, lurus, berhati-hati, dan santun) tampak sangat bagus dan memaknai kehidupan: baik dalam kehidupan pribadi, organisasi, dan sosial yang kuat dan berhasil.
Galasibot mengajarkan perilaku adil, tulus, tidak memihak, akan dipatuhi sekalipun tidak menggunakan senjata, itu yang menjadi prinsip moral bersama dalam setiap obsesi, tentunya obsesi harus ditunjang dengan kerja keras. Orang yang berhayal tanpa kerja, aksi, seperti membangun reaksi pada pikiran bawa sadar ”amigdala” sebagai manusia yang ambigu, bingung tanpa tujuan dalam hidupnya.
Etos habatahon mampu menjadi dasar penghidupan ”ompunta [baca-omputta] sijolo-jolo tubu” (kakek-moyang) ratusan tahun lampau. Lainnya itu, tidak lebih dari pelengkap, yang bisa berubah dan bisa dihilangkan. Karena itu, mari mengharmonikan kearifan budaya Batak, pada masa sekarang untuk meraih masa yang mendatang.
Dalam bukunya, J.C Vergouwen menulis, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba bahwa, Dalihan na Tolu adalah unsur kekerabatan warga masyarakat Batak. Maka setiap sub-etnis Batak memiliki garis penghubung satu sama lain. Dalihan na Tolu dari sisi bahasa berarti tungku yang berkaki tiga, saling menyokong. Tanpa ada yang lebih tinggi. Dalihan na Tolu dalam status dan peranan seseorang berbeda nama sama, memang agak paradoks.
Adalah ”Hulahula” disebut pihak istri atau ibu. ”Dongan Sabutuha” berarti semarga atau selevel. Dan, pihak ”Boru” adalah pihak yang menerima anak perempuan hulahula. Terangkum ”somba marhulahula, elek marboru manat mardongan tubu.” Masing-masing saling menghormati: pihak hula-hula, berhati-hati dalam tingkah laku pada saudara semarga dan membujuk melindungi boru-nya.
Sistim sosial ini menjadi filosofi, dan terlihat dalam upacara adat. Setiap unsur memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap orang Batak menduduki ketiga status ini,  pada saat tertentu dia bisa boru, hulahula, dan dongantubu. Jadi tidak selamanya posisi boru melekat. Paradoks tadi, ia bisa menjadi boru bisa menjadi hulahula tergantung posisinya.
Dari sisi religi, Dalihan na Tolu menggambarkan relasi manusia dengan sang pencipta. Yang disebut banua toru, banua tonga dan banua ginjang. Philip. O Tobing dalam bukunya The Structure of the Toba Batak Belief in the High God (1963) menyebutkan, ”Batara Guru,” ”Bala (Mangala) Sori,” dan ”Bala (Mangala) Bulan” adalah representasi dari masing-masing Dalihan na Tolu.
Di lima sub-etnis Batak; Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing-Angkola, Toba. Dalihan na Tolu memiliki persamaan. Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan. Sementara di Karo disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Istilah Daliken Sitelu berarti tungku yang tiga. Daliken berarti batu tungku, sementara Si samadengan Telu tiga. Menunjuk pada esensi kehidupan sehari-hari. Yang juga mengambarkan ada ikatan setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut. Di Mandailing/Angkola sistim kekerabatan itu menunjukkan arti tumpuan Dalian Natolu.
 Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah ide-ide yang dihasilkan dari tradisi budaya akan mentransformasi ke dalam bentuk benda-benda atau produk-produk kreatif. Penciptaan kreasi, produksi dan sirkulasi dari benda-benda budaya, dan jasa adalah dengan memanfaatkan potensi kreativitas. Modal intelektual, kearifan lokal masyarakat Batak, bisa hidup dari produksi budayanya. Misalnya, perangkat-perangkat produksi yang berbasis pengetahuan tradisional maupun yang telah dan akan dikembangkan, baik dalam bentuk barang-barang berwujud kreasi budaya atau produk budaya.
Lapangan kegiatan melibatkan pendekatan multi disiplin dengan variabel subjek yang heterogen, termasuk kegiatan kreatif yang bersumber dan terkait dengan situs-situs budaya, warisan ekspresi budaya tradisional, karya-cipta derivatif dan karya-karya baru yang berakar dari tradisi, baik dalam bentuk seni visual seperti kerajinan tangan,  anyam dan tenun, seni suara, seni gerak, seni verbal “sastra lisan”, media, dan kreasi fungsional lainnya.
Dalam menjaga daya saing, ketahanan kompetitif, masyarakat adat memanfaatkan keunikan dan kekhasan produk berdasarkan keragaman warisan tradisi dengan cara mengembangkan atau mengadopsi teknologi yang sesuai dan tidak berdampak  negatif terhadap lingkungan maupun bagi masyarakat adat itu sendiri.
Memang pada akhirnya hak-hak intelektual yang menjadi milik komunitas sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kepentingan komunitas tanpa menutup kemungkinan untuk dimanfaatkan pihak lain diluar kamunitas sepanjang hal itu tidak merugikan termasuk dan terutama nama baik dan martabat masyarakat adat yang mewarisinya.
Kreativitas dalam sistem budaya masyarakat adat digerakkan sebagai salah satu kekuatan unggul dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi berkelanjutan masyarakat adat. Daya kreativitas, pengetahuan, dan akses informasi disatukan dengan aspek ekonomi, budaya, teknologi dan aspek sosial di semua level, makro maupun mikro. Kreatifitas adalah ide-ide yang dihasilkan baik melalui warisan tradisi budaya, ciptaan derivatif dan ciptaan baru disambungkan dan diformulasi bentuk produk budaya. Siklus penciptaan kreasi, produksi dan sirkulasi benda-benda dan jasa adalah dengan memanfaatkan potensi kreativitas dan modal intelektual masyarakat adat serta pengembangan manajemen dan teknologi terkait. Misalnya mengekploitasi budaya di sekitar Danau Toba, bukan merusak alam-nya.
Lapangan kegiatan melibatkan pendekatan multi disiplin dengan variabel subjek yang heterogen, termasuk kegiatan kreatif yang bersumber dan terkait dengan situs-situs kultural, warisan ekspresi budaya tradisional, karya-cipta derivatif dan karya-karya baru yang berakar pada tradisi, baik dalam bentuk seni visual, termasuk kerajinan, anyam dan tenun, seni suara dengan mengmbangkan lagu-lagu Batak, seni gerak dengan membangkan “tortor dan gondang Batak,”  seni verbal (sastra lisan), media, dan kreasi fungsional lainnya.
Dalam dunia kompetitif seperti sekarang ini, kearifan budaya harus dimamfaatkan keunikan dan kekhasan produk berdasarkan keragaman warisan tradisi. Dengan cara mengembangkan atau mengadopsi teknologi yang sesuai dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan maupun bagi masyarakat adat itu sendiri.
Mestinya masyarakat Batak harus menghilangkan  tuduhan tanah Batak adalah Peta Kemiskinan. Sebagaimana dalam satu headline Sinar Harapan di tahun 80-an bahwa Tapanuli (tanah Batak) adalah peta kemiskinan. Kalau pun benar, kemiskinan di Bona Pasogit tentunya karena kemalasan. Bagimana tidak miskin kalau malas.
Lapo, warung kedai sebagai tempat ngalor-ngidul bagi laki-laki Batak adalah satu kearifan yang lama lestari, disebut “marlapo.” Tetapi sekarang ini lapo menjadi lapangan politik. Terlalu lama laki-laki orang Batak di kampung halaman beleha-leha untuk menghabiskan waktunya. Di Bona Pagosit, paling tidak di Humbang-Hasundutan kebiasaan “marlapo” itu masih ada. Kebiasan marlapo itu berdampak pada lahan yang harusnya bisa dikelola tidak sempat tergarap. Sampai saat ini masih terlalu banyak lahan terlantar, tidak digarap.
Dulu, nenek moyang kita punya konsep “mangarimba atau manobang,” atau membuka lahan baru, karena masih banyak tanah yang belum tergarap. Itu sebabnya, nenek-moyang kita dikenal pekerja keras. Sekarang kelihatannya menurun. Semangat magarimba, tanda kerja keras itu tidak terlihat lagi.
Lahan yang dulunya dibajak, sekarang sudah menjadi semak belukar. Dalam bahasa Batak disebut “tarulang.” Ketidak-adannya etos, itulah membuat tanah Batak terpuruk, menjadi peta kemiskinan. Memang, di kota pun banyak orang Batak demikian, malas, antara sempitnya lahan pekerjaan dan tiadanya semangat berusaha. Tentu kalau berusaha pasti ada pekerjaan, dimana pun.
Etos itulah sebagai seperangkat nilai yang harus terus didengukan terus-menerus hingga menyatu kembali pada karakter kita. Konsep mangarimba sekarang ini, misalnya di kota, bisa diterapkan mencari lahan baru, kreatifitas baru menciptakan lahan pekerjaan baru. Banyak hal yang harus dilakukan, tanpa harus bersungut-sungut, ngedumel karena tidak ada pekerjaan.
Produktivitas itu harus terlihat dengan kerja keras kita, agar jangan nanti di hari tua kita “suda gogo” sudah habis tenaga baru kita sadar, sudah terlambat. Kalau tidak dari sekarang, kita tidak pandai mencari lahan baru, tidak mencari peluang baru. Besok kita hanya kere. Hanya mengeluh bukan solusi, malah membawa pada kemalasan.
Sebenarnya orang Batak itu punya etos yang tinggi, bahkan karakter perempuan Batak khususnya, memiliki sikap ulet dan etos kerja yang luar biasa. Citra luhur dari etos budaya Batak itu bisa ditularkan dalam etos ber-bangsa. Apalagi saat ini memerlukan etos kebangsaan, semangat kebersamaan dan kultur keunggulan sebagai bentuk investasi kultural di masa depan. Kearifan budaya adalah investasi jangka panjang yang harus terus dipelihara.
Demokrasi Ala Batak
Tanah Batak sudah mengenal demokrasi jauh sebelum konsep demokrasi itu ditemukan. Bagi Leo, demokrasi di tanah Batak sudah berjalan lebih dari ratusan tahun lalu. Contoh penerapan demokrasi di tataran lingkup yang kecil, menurut Leo, setiap tahun dipasang lonceng giring-giring gereja untuk membangunkan seluruh anggota keluarga, tiap jam 12 malam. Setiap anggota keluarga berdoa bersama dan saling berbincang dan diberikan ruang untuk menyatakan keluh-kesah atau evaluasi. Entah memberi masukan atau nasehat, di saat itulah waktu yang tepat keluarga saling memberikan pendapat. Artinya, orang Batak, kata Leo sudah diberikan pengajaran, dan masing-masing mengoreksi diri sendiri.
Bagi Leo, hal semacam itu bukti adanya demokrasi yang diterapkan dalam kehidupan. Maka, karena ruang itu, orang Batak jadi pintar berbicara. Karena itu, bagi Leo, beda pendapat dalam kehidupan orang Batak, itu biasa. Yang kaget kalau sudah gondok-gondokan, itu tidak boleh. Filosofi Dalihan na Tolu berperan. Dalihan na Tolu bisa diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama, tiga posisi penting, sejajar, dalam kekerabatan orang Batak yang terdiri dari: Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru.
Dalam Hula-hula; yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di atas”, yaitu keluarga marga pihak istri. Relasinya disebut somba marhulahula; yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri. “Hula-Hula” adalah Orang-tua dari wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun Hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara laki dari pihak wanita yang dinikahi oleh seorang pria dapat disebut Hula-hula. Marsomba marhula-hula artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya.
Dasar utama dari filosofi ini adalah bahwa dari fihak marga istri-lah seseorang memperoleh “berkat” yang sangat didominasi oleh peran seorang istri dalam keluarga. Berkat hagabeon berupa garis keturunan, hamoraon karena kemampuan dan kemauan istri dalam mengelola keuangan bahkan tidak jarang lebih ulet dari suaminya, dan dalam hasangapon pun peran itu tidak kurang pentingnya. Somba marhulal-hula supaya dapat berkat.
Boru, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Boru adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru Hombing adalah anak perempuan dari marga Sihombing. Prinsip hubungannya adalah Elek Marboru artinya harus dapat merangkul boru. Sabar dan tanggap. Dalam kesehariannya, Boru bertugas untuk mendukung, membantu bahkan merupakan tangan kanan dari Hula-hula dalam melakukan suatu kegiatan. Sangat diingat oleh filosofi Elek marboru, bahwa kedudukan “di bawah” tidak merupakan garis komando, tetapi harus dengan merangkul mengambil hati dari Borunya.
Dongan Tubu  yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman, saudara semarga. Prinsip bubungannya adalah Manat Mardongan Tubu, artinya hati-hati  menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan bermasyarakat. Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut; ada saatnya menjadi Hula hula, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi Boru.
Dalihan na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang pejabat harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang bukan pejabat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan Sistim Demokrasi orang Batak, karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal.
Tetapi, ada beberapa hal negatif dari budaya Batak yang harus kita tinggalkan, misalnya budaya banyak bicara sedikit bekerja. Memang orang Batak terkenal pintar berbicara. Akan tetapi kepintaran berbicara ini sering disalahgunakan untuk membolak-balikan fakta. Yang hitam bisa jadi putih dan yang putih bisa jadi hitam. Hal lain yang negatif adalah budaya “HoTeL”.
HoTeL adalah singkatan dari: Hosom yang artinya dendam. Konon, orang Batak suka mendendam sesama saudara. Teal yang artinya sombong, yang dapat terlihat dari cara bicara, sikap hidup. Late yang artinya Iri Hati. Apakah HoTeL ini hanya ada pada orang Batak saja? Jawabannya tidak karena sifat ini adalah universal dan umum.  Kita sebagai generasi muda harus dapat mempertahankan budaya yang positif dan meninggalkan kebiasaan yang negatif.
 Pendidikan Bagi Orang Batak
Bagi orang Batak dikenal mempunyai sistim pendidikan yang bagus. Ini terbaca dari semacam pepatah, “Sian jabu baru tu halaman, sian halaman tu balian”. Tetapi, itu dulu. Keunggulan orang Batak yang kelihatannya sudah hilang. Paradigma pendidikan di Tanah Batak sudah berubah. Dan, keunggulan yang pernah dinikmati Tanah Batak itu tak lepas dari jasa ompui Dr Ingwer Ludwig Nommensen (1834-1918).
Nommensenlah, bagi Leo yang membawa orang Batak pada kemajuan. “Ia mengajarkan bercocok tanam lebih dulu, sebelum memberitakan Injil. Dan jangan dilupakan, ketika epidemi sampar menyerang Silindung, ia tampil menjadi penyelamat. Akhirnya, pintu terbuka untuknya, dan Nommensen diterima masyarakat, khususnya Silindung. Dialah semacam “Nabi” yang datang untuk mempelopori perubahan peradaban di Tanah Batak. Karena itu pula dia dianggap sebagai Apostel Batak. Di bidang pendidikan peranannya besar sekali,” ujar Leo.
Salah satu pandangan hidup orang Batak, kata Leo, yang berbunyi “Anakhon Hi Do Hamoraon Diahu” telah memperkuat motivasi masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin. Dalam konteks filosofi Batak, hamoraon adalah kekayaan materi, gabe, mamora, sangap. Artinya ada anak, ada harta, baru terpandang. Banyak anak adalah tujuan, sehingga ada perumpamaan yang berkata ”maranak sapuluh pitu marboru sampuluh onom (tujuh belas putra enam belas putri).
“Itulah yang disebut filosofi Tolu H, hagabeon, hamoraon, hasangapon. Sayangnya, dari ketiga dasar filosofi itu hamoraon telah menjadi tujuan utama dan menomorduakan yang lain. Sehingga bagaimana menjadi kaya terlalu menjadi titik berat dalam memandang hidup. Maka, terjadilah titik balik, dan segala cara akan ditempuh untuk mencapai hamoraon.”
Tapi, menurut pandangan Leo Nababan bahwa dari tiga H harus menjadi lima H yakni:
  1. Haporseaon (kepercayaan/iman)
  2. Hadameon (kedamaian)
  3. Hagabeon (berketurunan)
  4. Hamoraon (kaya materi)
  5. Hasangapon (pangkat jabatan)
Zending datang ke Tanah Batak tidak saja hanya membawa agama Kristen, tetapi juga membangun sistem pendidikan yang baik. Sekolah-sekolah zending melahirkan manusia-manusia pilihan. Lulusan sekolah tersebut banyak yang menjadi orang penting dalam proses kebangkitan bangsa Indonesia. Mereka menempati posisi yang baik di bidang politik dan pemerintahan, begitu juga di tengah masyarakat luas. Mereka menjadi model. Sehingga filosofi orang Batak menemukan muaranya, bahwa pendidikan akan menjadikan anak-anak mereka sebagai manusia, yang kaya dan bermartabat.
Lahirnya Republik Indonesia rupanya telah turut menebarkan ilusi tentang negara yang bisa melaksanakan apa saja, termasuk di bidang pendidikan. Muncullah sistem pendidikan yang bersifat massal dan nasional. Terjadilah gesekan yang berdampak buruk terhadap output pendidikan yang sudah menjadi idola selama ini di Tanah Batak.
Motivasi untuk memperoleh pendidikan yang baik tidak diragukan lagi di kalangan masyarakat Batak. Masalahnya adalah mereka yang sudah terdidik dengan baik jarang yang mau kembali untuk membangun kampung halaman yang masih miskin. Tetapi, masalahnya belum tentu semua bersepakat untuk mengatakan Tanah Batak miskin. Leo Nababan tidak sepenuhnya setuju kalau tanah Batak disebut daerah termiskin.
Menurut Leo Nababan, Tapanuli sudah tidak menyandang predikat miskin lagi. Terlihat dari APBD Tapanuli Utara tahun 1995 saja yang mencapai Rp 7,5 miliar.  Leo melihat, untuk memperoleh pendidikan yang baik, kata Leo, orang Batak tetap masih tinggi semangatnya untuk menempuh pendidikan tinggi. Tolu-H menjadi motivator. Dan itu baik. Yang disayangkan Leo adalah bahwa orang-orang Batak hanya mengejar pendidikan sampai tingkat sarjana. ”Orangtua mendorong anak mereka bersekolah hanya untuk menjadi kaya, bukan menjadi ilmuwan.”
Lagi-lagi Leo melihat, menjadi sarjana dan kaya, tapi tidak berkenan pulang untuk membangun bona pasogit. Itulah yang jadi masalah. Berbagai upaya untuk mengatasi hal ini belakangan terlihat muncul, antara lain dengan mendirikan pendidikan tinggi, dengan harapan lulusannya segera bisa mempraktekkan kepintaran mereka di kampung mereka sendiri.
Karena selama ini Tanah Batak telah mengalami brain drain atau terkurasnya orang-orang pandai Batak oleh dunia luar. Sementara kekayaan yang mereka peroleh di rantau hanya kembali dalam bentuk patung untuk menghias kuburan nenek-moyang di kampung halaman. Lihatlah mantan Menteri Perdangangan, Jenderal (purn) Luhut Panjaitan, membangun Politeknik Informatika DEL, yang belokasi di Jalan Sisingamangaraja, Sitoluama, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.  Cara membangun oleh Bapak Luhut Panjaitan ini patut diteladani dan pantas untuk ditiru, bahkan ditingkat-mantabkan.
Visinya, menuju masa depan teknologi informatika yang mengintegrasikan dunia pendidikan dengan kebutuhan akan tenaga profesional informatika, yang mampu bersaing secara global. Misinya, mampu mencetak dan membina sumber daya manusia di bidang industri teknologi informatika yang mempunyai kemampuan memimpin, penuh kreativitas, berdisiplin tinggi, dan mampu memberikan solusi dengan memanfaatkan teknologi informatika. Menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dengan dukungan tenaga pengajar yang ahli dan profesional.
Untuk membangkitkan Tanah Batak pernah muncul beberapa gagasan, antara lain Maduma dan Martabe. Martabe singkatan dari Marsipatur Hutana Be, kalau diterjemahkan secara bebas “membangun kampung masing masing,” yang populer tahun 1980-an. Martabe menggabungkan dua bahasa, Angkola-Mandailing dan Batak Toba. Maduma, yang dipelesetkan jadi “Mangula Dungi Mangan (bekerja baru makan) saat itu dipopulerkan Gubsu, Raja Inal Siregar.
Gerakan ini mendapat bantuan dari Orde Baru waktu itu.  Maduma banyak membantu masyarakat Bona Pasogit, dengan pemberian bibit tanaman di Sileang, bantuan traktor di Dolok Sanggul, dan yang lain. Maduma juga mengirimkan pemuda-pemuda Batak lulusan pertanian UGM, IPB, untuk memberikan penyuluhan pada petani. Tetapi, banyak gagal. Para petani menolak kedatangan mereka karena tidak adanya komunikasi yang seimbang atau dua arah. Namun, gerakan ini berhasil membangun jalan-jalan provinsi dan jembatan di Tapanuli. Lalu memberikan bibit kopi sigarar utang di Siborongborong, Lintongnihuta dan Dolok Sanggul dipelopori almarhum Bapak Binsar Lumban Toruan, dimana Bapak Toruan adalah ayah kandung Donald Sihombing, pemilik PT Totalindo (Tontongtaingod Lintongnihuta Dolok Sanggul) sebuah kontraktor nasional yang berkembang pesat.  Menurut Leo, cara ini juga perlu diteruskan, ibarat pepatah beribu-ribu jalan ke Roma.
Bagi Leo, orang Batak juga tidak lupa pada obsesi KM Sinaga yang ingin mendirikan Universitas Nehemia, dan membantu sekolah-sekolah yang hampir rubuh. Banyak orang yang beranggapan perlunya didirikan yayasan dalam rangka membantu Tanah Batak. Cuma KM Sinaga yang berpendirian lain. Yang diperlukan, menurut dia, adalah badan yang operasional. Dia mengusulkan dibentuknya badan usaha yang bisa menyalurkan kredit lunak kepada pengusaha menengah dan kecil.
Prihatin Dengan Bahasa Batak
Leo Nababan adalah orang yang suka pada bahasa ibunya, bahasa Batak. Dia tahu menempatkan di mana dia berbahasa Batak. Walau berwawasan nasional, dan bergaul dengan tokoh-tokoh nasional, bukan berarti meninggalkan budaya, kata Leo. Dia selalu merasa budaya Batak itu harus terus dijaga. Salah satunya dengan bahasa ibu yaitu bahasa Batak. Tak banyak tokoh Batak seperti Leo Nababan, yang selalu berbahasa Batak pada orang Batak. Dia memang orang yang apa adanya, kalau tertawa tak ditahan, tertawanya lepas. Dan bicaranya yang blak-blakan membuatnya orang Batak tulen. Apalagi sudah membicarakan kepentingan umum, Leo akan tampil untuk memberikan peran dan berapi-api.
Sebagai seorang Batak dia tidak malu dengan budaya Bataknya. Berkali-kali Leo mengatakan, prihatin terhadap bahasa Batak yang kalau tidak dijaga akan hilang. Bahasa adalah identitas kita, kata Leo. Demikian juga bahasa daerah adalah bagian yang integral dari kebudayaan daerah itu sendiri. Sebagai bagian dari kebudayaan, bahasa daerah tentu memberikan andil dalam memperkaya kebudayaan nasional, termasuk memperkaya bahasa Indonesia.
Dari hasil penelitian saat ini, jumlah bahasa daerah yang rawan punah sangat banyak. Sedikitnya 700 bahasa daerah bisa punah dalam waktu sesaat jika tidak ada upaya untuk merawatnya, ungkapnya. Apa penyebabnya? Menurut Leo, salah satu penyebab adalah lunturnya bahasa daerah. Bahasa Batak juga akan bernasib yang sama, mengingat sudah jarang digunakan di kota-kota besar terutama di kalangan generasi muda. Termasuk di gereja Batak, sudah amat jarang diperdengarkan bahasa Batak, terutama sekolah minggu.
Bagi Leo, yang sesering mungkin Leo berbahasa Batak dengan anaknya. Bagi saya, kata dia, semangat berbahasa daerah pada generasi muda sekarang ini, menggunakan bahasa Batak, dalam percakapan sehari-hari makin memudar. Dan, kalau pun ada, yang mengunakan bahasa Batak itu juga tidak terlihat semangat terhadap pelestarian bahasa itu sendiri. Orang Batak sendiri sekarang sudah banyak yang menganggap bahasa Batak kampungan, kolot.
Apalagi muncul budaya baru yang diadopsi dalam pergaulan anak muda di kota. Membuat kaum muda Batak, utamanya di kota-kota, tidak bergairah dan tidak-mau-tahu soal bahasa Batak. Ditambah lagi muncul film dan sinetron yang bercerita tentang budaya luar. Anak-anak muda di kota dibombardir budaya luar. Apa yang terjadi. Banyak anak muda berbahasa kebaratbaratan, dan meninggalkan bahasa ibunya.
Kalau kita menyadari bahasa Batak mengemban fungsinya sebagai alat komunikasi, juga sebagai media pengembangan kebudayaan, tentu akan lain ceritanya. Disadari atau tidak, jika hilang bahasa hilang juga budayanya. Siapa yang salah? Patut diduga orangtua tidak memberikan dorongan, mengajar anak-anaknya berbahasa Batak. Tidak dibiasakan mengunakan bahasa Batak di dalam rumah. Lalu, logat Batak yang kentara itu dianggap menjadi sebuah kekolotan. Logat Batak tidak ada sangkut-pautnya dengan kekolotan.
Orang Batak sendirilah yang harus peduli pada bahasanya. Masyarakat Batak harus konsisten mempertahankan bahasa daerahnya. Jangan sampai dirambah oleh bahasa atau budaya lain. Untuk itu diperlukan komitmen semua fihak, baik pemerintah dan masyarakat Batak. Sebab bahasa Batak merupakan aset bangsa, sebagai produk budaya. Dalam melestarikan bahasa Batak, dibutuhkan kemauan semua pihak. Artinya, masyarakat Batak juga harus membiasakan diri menggunakan bahasa Batak, dimana pun mereka berada, tentu dengan orang Batak sendiri.
Selain, itu dalam melestarikan bahasa Batak, hendaknya pekerja seni, penulis, wartawan, dan budayawan, selalu terbeban menampilkan karya daerah yang menggunakan bahasa Batak untuk menjaga supaya bahasa Batak tidak punah. Tatkala penting peran pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah Sumatera Utara harus memperlihatkan keinginannya untuk memberikan ruang. Apalagi pemerintah Sumatera Utara tidak pernah memberikan anggaran dalam upaya pelestarian bahasa Batak.  Menurut Leo Nababan, “Bangsa yang beradab di dunia jika sudah mempunyai aksara dan Batak telah memilikinya.  Namun, sampai dimana pelestarian aksara Batak ini agar jangan punah karena majunya teknologi.”  Terus terang, Leo Nababan menyarankan agar kurikulum daerah di Tapanuli harus mewajibkan siswa belajar tulisan Batak.
Dan, peran gereja pun penting untuk membantu mengajarkan bahasa Batak, utamanya gereja Batak di sekolah-sekolah minggu. Sebab bahasa daerah sebagai penjaga budaya, perlu dijaga keberadaannya. Menggunakan bahasa Batak bukanlah suatu tindakan yang ketinggalan zaman. Bahasa Batak adalah identitas penting bagi kebudayan Batak itu sendiri. Menggunakan bahasa Indonesia, sebagai orang Indonesia sejati, seharusnya tidak boleh menghilangkan penggunaan bahasa daerah.
 Di Bawah Kita Sabar, Di Atas Kita Wajar
Kalimatnya biasa tetapi maknanya dalam, Di bawah kita sabar, di atas kita wajar. Itulah filosofi hidup Leo Nababan. Karena bagi Leo ketika kita masih berjuang di bawah, ngga perlu putus asa, ketika pergumulan menjejak  kita. Tetapi, ketika di atas pun jangan lantas  juga menjadi sombong. Jadi menginjak orang lain.
Bagi Leo, pelajaran hidup yang paling nikmat itu adalah ketika kita menyadari bahwa bumi ini bulat. Artinya ada perputaran, yang di atas itu tidak selalu di atas, lalu kaum bahwa, yang termajinalkan pun juga bisa jadi kelak menjadi orang berhasil. Ketika di atas ingat orang lain, buat orang yang masih berjuang, jangan hanya mengeluh. Berdoa. Bekerja keras. Maka kelak kita bisa berhasil seperti orang lain yang terlebih dahulu menikmati.
Memotivasi orang lain, apalagi teman sendiri adalah hal yang patut. Prinsip motivasi itu adalah menyemangati orang lain. Tentu untuk mempengaruhi ke pada arah yang lebih baik. Hal itu, terlihat dari prinsip yang dijalankan Leo membantu itu adalah nilai. Saat ada orang yang kesusahan, dia dengan ihklas membantu. Banyak cara membantu, bukan hanya dengan materi, tetapi juga dengan memberikan arahan yang baik, menuntun agar jangan terpelosok, katanya.
Leo menerapkan hidup apa adanya. “Hidup jangan dibuat-buat. Kalau kita lagi dalam kesusahan, jangan putus asa. Tetapi, kala kita di atas pun, tak baik bisa kita superior. Tetapi, kita harus sadar bahwa hari esok adalah hari pengharapan. Jika arah sekarang tidak ada yang memberikan kita, sepertinya, tidak ada kepastian, maka besok akan ada terbit cahaya. Hidup ini tidak selalu gelap, tidak selalu terang. Ada gelap ada terang,” katanya memotivasi.
Semangat memotivasi itu, tidak dibuat-buat. Kalau diaurai kata-katanya banyak yang lucu tetapi mengena pada maksudnya. Leo tidak bisa melihat sisi negatif seseorang, dia akan selalu berusaha melihat sisi positifnya. Banyak hal yang dia tularkan untuk menunjukkan semangat pembelajar. Leo juga bukan orang type orang yang tidak bisa memaafkan. “Harus memaafkan. Kita harus memaafkan orang lain, jika bersalah dengan kita,” katanya lagi.
Satu waktu, ada temannya berbisnis. Apa yang sudah dijanjikan dari sejak arah berbeda kemudian. Bagi Leo, kepercayaan adalah prinsip, kalau orang telah melanggar perjanjian dan tidak ingat apa yang dia katakan maka dia bukan orang yang bisa kita ajak bermitra. Pengalaman itu dia tunjukkan bagi temannya yang telah mengecewakannya kemudian datang ke rumahnya minta maaf.
Leo dengan berbesar hati menyambut dan melayani sebagai tamu terhormat. Tapi, kata dia, kalau kau berbisnis jangan coba-coba lagi. Sebagai manusia, yang pernah saling kenal, tetap saja kita bisa berteman. Tetapi kalau sudah masalah bisnis, jangan dulu. Temannya ini, orang yang telah inkar dari janjinya pada Leo dengan menangis menyadari bahwa Leo orang yang besar hati mau memaafkan, walau tidak mau lagi mengajak temannya ini bermitra.
Bagi saya kepercayaan adalah prinsip.  Nilai kita adalah dapat dipercaya, dan bisa menjaga kepercayaan orang lain, itu hebat. Saya kira sekarang ini yang paling dibutuhkan dalam bidang apapun adalah integritas. “Kalau orang tidak bisa sehati ucapan dengan pikiran, maka dia bukan orang yang berintegritas. Sesungguhnya yang berintegritas itu adalah orang yang selalu menjaga kepercayaan orang lain, terus dia jaga.
Yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan  nilai dan prinsip. Integritas diartikan sebagai kejujuran dan  kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah munafik. Seorang dikatakan mempunyai integritas apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya. Ciri seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan bukan seorang yang kata-katanya tidak dapat dipegang. Seorang yang mempunyai integritas bukan tipe manusia  dengan banyak wajah dan penampilan yang  disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadinya, katanya.  Ciri negatif dari kapitalisme adalah kemiskinan.  Sedangkan sisi negatif dari demokrasi yang setengah-setengah adalah korupsi.
Selain itu Leo masuk di berbagai organisasi untuk membangun kemampuan. Dia memandangnya sebagai sumber pengetahuan. Penggerak-penggerak dari sumber daya yang lainnya, apakah itu sumber daya alam atau teknologi. Hal ini merupakan suatu penandasan kembali terhadap falsafah man behind the gun. Yang tidak kalah pentingnya dari reformasi birokrasi kementerian keuangan adalah peningkatan disiplin.
Niatnya juga dapat diartikan sebagai keinginan untuk berbuat sesuatu atau kemauan untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan. Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja, kata Leo harus ditandai dengan berbagai inisiatif, kemauan dan kehendak untuk mentaati peraturan. Itulah Leo, dibentuk oleh organisasi. Sebagai seorang politisi Leo sadar bahwa dengan organisasi membentuk kemampuannya berpolitik.
 Protap Kerinduan Masyarakat Tapanuli
Tujuan utama pembentukan Provinsi Tapanuli adalah untuk mempercepat pembangunan sekaligus memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintahan. Proses dan perkembangan aspirasi masyarakat tentang pembentukan Provinsi Tapanuli sudah nian lama dirindukan di Tapanuli. Jauh sebelum masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Puncaknya adalah acara penyampaian kebulatan tekad masyarakat tanggal 12 Januari 2007 lalu di Tarutung, Tapanuli Utara yang dihadiri sedikitnya 40.000 masyarakat yang datang dari 10 daerah kabupaten/kota yang direncanakan bergabung dalam Provinsi Tapanuli, yakni, Kab. Tobasa, Kab.Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.
Sebagai tindak lanjutnya kebulatan tekad masyarakat itu, disusul sedikitnya 82 anggota DPR RI yang berasal dari 10 Fraksi menandatangani usul inisiatif pembentukan Propinsi Tapanuli, yang kemudian diserahkan kepada pimpinan DPR RI dan diterima langsung oleh Ketua DPR RI HR Agung Laksono ketika itu.
Bagi Leo, rencana pembentukan Provinsi Tapanuli itu sangat disadari hanya dengan melecut pembangunan, agar julukan Peta Kemiskinan Tapanuli bisa dihilangkan, karena dengan pemekaran wilayah dan membentuk daerah otonom baru diharapkan kesejahteraan masyarakat bisa lebih meningkat dibanding sebelumnya.
“Bayangkan, infrastruktur di daerah itu masih tertinggal dibanding daerah lain.  Karena ketertinggalan infrastruktur maka jarak tempuh Medan-Tarutung bisa memakan waktu 7 (tujuh) jam jika menggunakan transportasi darat, baik angkutan umum maupun pribadi,” ujar Leo.
Selain itu, dinilai dari sudut potensi daerah, bagi Leo hal ini masih terbuka lebar. Masih bisa dikembangkan terus untuk digali dan dikembangkan, guna meningkatkan perekonomian masyarakat. Bagi Leo yang pernah kulaih di Institut Pertanian Bogor ini melihat sektor pertanian di Tapanuli sangat berprospek. Jika lahan-lahan bisa dikelola dengan baik Tapanuli pasti makmur.
Bagi Leo daerah Tapanuli sangat cocok dikembangkan industri pertanian, seperti padi, jagung dan lain-lain. Makanya, sebagai wujud kepeduliannya terhadap kemajuan kampung halamannya, kini dia mengembangkan budi daya pertanian yang produktif.  Itu sebabnya Leo Nababan mengaku terharu sekaligus bangga melihat ketegaran Ir. Chandra Panggabean dan kawan-kawan pendukung Propinsi Tapanuli antara lain Ir. Hasudungan Butar-Butar MSi, Burhanuddin Rajagukguk, Pdt. FM Datumira Simanjuntak, Djumongkas Hutagaol dan Drs. Juhal Siahaan yang kini ditahan LP Gusta.
Menurut Leo, ketika menjengut para pendukung Protap yang terlibat pada aksi unjuk rasa Protap yang berujung insiden di DPRD Sumut itu memang terlihat lebih kurus dibanding biasanya. Namun dari raut wajahnya kata Leo, terlihat tetap tegar dan ceria. “Saya bertemu dengan kawan-kawan. Saya terharu dan bangga melihat mereka tetap tegar dan tabah menanggungjawabi aksi demo yang sebenarnya tidak mereka inginkan berujung kematian saudara Aziz Angkat,” katanya.
Saran Leo, agar mereka tetap tegar dan tabah kepada kawan-kawan menghadapi cobaan. Dan tantangan atas ekses dari memperjuangkan aspirasi masyarakat Tapanuli untuk sebuah Propinsi Tapanuli. Dia membesuk para pendukung Protap itu menurutnya didorong rasa kesetiakawanan sesama putra Tapanuli meskipun selama ini dirinya lebih banyak beraktifitas di Jakarta.
“Mereka itu kebanyakan kawan-kawan saya juga sesama politisi dan tokoh-tokoh Batak yang ada di Sumut. Kawan yang baik itu adalah kawan yang tetap setia di kala susah maupun senang. Berkawan itu janganlah hanya dalam keadaan senang, sebab siapapun bisa berkawan dengan orang pada saat dia senang, tapi dalam keadaan susah akibat berbagai cobaan pun kita harus tetap menghibur dan menyemangati kawan. Itu juga diajarkan agama yang saya anut,” katanya.  Dalam dua hal yang berbeda ini Leo dapat memisahkan hubungan pribadi kurang lebih 30 tahun dengan almarhum Aziz Angkat dengan perjuangan aspirasai kawan kawannya tentang pendirian provinsi Tapanuli.
Menurutnya, sebelum menjenguk Chandra dan kawan-kawan,  dia terlebih dahulu telah berziarah ke makam Abdul Aziz Angkat di Jalan Eka Rasmi kawasan Titi Kuning Medan. “Saya sudah bertemu dengan keluarga almarhum sahabat saya Aziz Angkat, kemudian saya ditemani berziarah ke makam beliau yang tak jauh dari kediamannya,” ujarnya. Leo juga berharap para pendukung lainnya yang kini ditahan itu tidak boleh dilupakan jasanya kelak jika protap sudah menjadi provinsi.
Kesejahteran rakyat
Selain pemekaran wilayah, kesejahteran di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli juga menjadi pemikirannya sejak dulu. “Saya sejak dulu terbeban agar kampung halaman saya maju. Bayangkan, katanya, jika Indonesia 33 Provinsi di bandingkan negara lain, kita sedikit provinsinya. Jadi bukan mengada-ada kalau pun orang Tapanuli mengusulkan Provinsi Tapanuli. Bahkan, menurutnya, Sumatera Utara bisa dimekarkan menjadi empat provinsi. Thailand saja memiliki 78 provinsi. Jika dibandingkan kita, negara kita lebih banyak. Lagi-lagi Leo mengeluh tentang Tapanuli. “Tidak ada pupuk di Tapanuli, padahal ia sebagai daerah pertanian, maka, jika ada provinsi. Masalah ini bisa di atasi, bukan lagi harus ke Medan yang jaraknya jauh sekali.
Leo juga melihat, jika dari sumber potensi pariwisata pun, Tapanuli tidak kalah dengan Bali.  Danau Toba bukan saja mensejahterakan warganya, tetapi juga menjadi wisata berkelas dunia. Tetapi memang, kata Leo perlu diperbaiki sarana-prasaran ke sana. Lalu masyarakat dididik menjadi masyarakat yang siap menerima wisatawan, orang luar. Dengan apa? Dengan kita tetap bersikap sebagai tuan rumah yang baik. Karena, bagi Leo saat ini Danau Toba yang kita agung-agungkan itu, tidak lagi banyak wisatawan yang datang ke sana. Acara tahunan Pesta Danau Toba (PDT) yang banyak menghabiskan danau itu, pun juga belum bisa mempromosikan Danau Toba.
Leo bening melihat, kalau masyarakat Tapanuli menguslkan provinsi itu juga adalah semangat untuk membangun bangsa. Tetapi, bagi Leo orang Tapanuli juga harus siap untuk bekerja keras untuk mengujudkan hal itu. Dan terutama bersatu untuk sesuatu yang baik bagi semua orang. “Kita sering kali terkotak-kotak, maka perjuangan apa pun dilakukan tidak akan bisa terwujud jika tidak ada semangat untuk bekerja bersama-sama. Lidi kuat karena ada bersatu,” katanya lagi.  Bagi sebagian masyarakat yang menolak Protap, perlu diadakan dialog yang membangun bukan seperti cerita tentang hantu dimana sebenarnya ketakutan akan hantu berlebihan… sedangkan hantu itu tidak ada.  “Saya berdoa semoga Provinsi Tapanuli segera terwujud, disusul Provinsi Nias Raya, Provinsi Labuhan dan Provinsi lainnya,” kata Leo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar