Sabtu, 21 September 2013

MAHASISWA PEJUANG PEJUANG MAHASISWA (2)


Dari Titik Nol
“Orang miskin bisa sukses asal ada tekad baja, kerja keras dan disiplin.  Andalkan Tuhan dalam hidupmu.”  Itulah pesan yang senantiasa disampaikan Leo Nababan kepada banyak kalangan, terutama generasi muda.  Tekad baja dengan kerja keras dan disiplin menjadi filosofi hidup yang Ia tanamkan sejak kecil hingga sekarang.  Cadas kehidupan yang terjal dan berliku pun dapat Ia lalui dengan prestasi membanggakan.
Semangat, tekad baja dan perjuangan mengantarkan anak kampung kelahiran Sei Rampah, 30 Oktober 1962 silam menduduki posisi penting dalam pentas politik dan pemerintahan.  Tokoh Batak tulen ini menduduki jabatan struktural di Partai Golkar sebagai Wakil Sekretaris Jenderal sejak 2009 merangkap Ketua Koorprov Sumut (Korwil Sumut DPP Golkar).  Pada saat bersamaan, ketika usianya menginjak 47 tahun, Ia juga dipercaya menduduki jabatan setara eselon I-B, memegang jabatan Staf Khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Republik Indonesia, Agung Laksono.  Tentu, ini semua tidak datang tiba-tiba.  Kerja keras, disiplin dan setia menjadi kata kuncinya.
Pada usia 35 tahun, Leo pernah memegang jabatan politik sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menggantikan “Dai Sejuta Umat” KH Zainuddin MZ.  Kemudian menjadi Staf Khusus Menteri Pemuda dan Olahraga  selama dua periode pemerintahan masing-masing dari era Presiden Soeharto ke era Presiden BJ Habibie, di mana Agung Laksono sebagai Menpora-nya dan Staf Khusus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) periode 1999-2004.  Pada pemilihan umum legislatif 2004, cita-cita Leo untuk memperjuangkan aspirasi menjadi wakil rakyat di Senayan kandas.  Tapi kegagalan itu terus mencambuknya untuk maju.
“Saya yakin dan percaya bahwa kekuatan Tuhanlah yang menolong saya dalam masa-masa kesulitan.  Saya hanya manusia biasa seperti yang lainnya.  Semua yang saya dapatkan hanya karena campur tangan Tuhan,” ujarnya bersyukur.  Gaya bicaranya yang mengalir ceplas-ceplos dan blak-blakan seperti tidak ingin menyembunyikan sesuatu dari dirinya.  Ia ingin tampil apa adanya.
Leo seringkali menegaskan bahwa dirinya masih bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.  Baginya, keberhasilan tidak bisa diukur dengan uang dan jabatan.  Ia mengutip Alkitab, Jeremia 33 ayat 3, “Berserulah kepadaKu maka Aku akan menjawabkan engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal besar yang tidak terpahami yakni hal-hal yang tidak kau ketahui.”
Dalam mengarungi kehidupannya, Leo Nababan berpedoman, “Dibawah kita sabar, di atas kita wajar.”  Prinsip ini senantiasa diterapkan Leo dalam kehidupan sehari-hari maupun politik.  Sukses memang tidak datang dari langit.  Sukses tidak muncul tiba-tiba.  Segala yang diraih melalui proses panjang.  Ketika berada dibawah, ia selalu bersabar dan saat berada di atas tidak boleh sombong melainkan tetap harus rendah hati.  Meski pernah menduduki posisi penting di beberapa perusahaan seperti Asisten Direksi PT Hunamas Putra Interbuna (gold exploration) dan Direktur Humas PT Adamsky Connection Airlines (Adam Air) tidak membuat Leo menjadi sombong.
Ia juga menjadi salah seorang alumni Kursus Reguler Angkatan ke-39 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (KRA ke-39 Lemhannas) pada 2006.  Di Lemhannas, Leo belajar lagi tentang geopolitik dan geostrategik, belajar secara komprehensif dan integral tentang ke-Indonesia-an dan NKRI.  Lemhannas dikenal sebagai pusat pendidikan politik kader-kader bangsa terbaik, pendidikannya secara khusus diperuntukkan bagi calon-calon pemimpin bangsa masa depan baik dari kalangan sipil, militer, politisi, birokrat, pebisnis dan organisasi kemasyarakatan.
Prestasi gemilang yang diraih Leo Nababan justru membuatnya selalu bersyukur.  Ia berprinsip bahwa prestasi dan jabatan yang dimiliki tidak boleh membuatnya mengambil jarak dengan orang tapi justru menjadi alat untuk memperbanyak teman, membantu sesama dan saling tolong menolong.  Lingkungan keluarganya yang sederhana membentuk kepribadian Leo Nababan menjadi sosok yang bersahaja, rendah hati dan paling tidak bisa menerima jika ada saudara dan teman yang mengalami kesusahan.  Dengan segala kemampuannya, Ia selalu berusaha memberi bantuan.  Dalam bahasa Islam,hablum minallah dan hablum minannas harus seimbang.  Hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan dan horizontal manusia dengan sesama, tidak boleh berat sebelah.
Dalam kehidupan sehari-hari Leo Nababan selalu mengedepankan karakter dan integritas.  “When wealth is lost, nothing is lost.  When health is lost, something is lost.  But when character is lost, everything is lost.  Jika harta kita hilang sebenarnya tidak ada yang hilang.  Jika kesehatan kita hilang, maka ada sesuatu yang hilang.  Tapi jika karakter hilang, maka hilanglah segala-galanya.  Camkan ini!” tegasnya.  Konsistensi Leo dengan sikap, tingkah laku dan kepribadiannya merupakan upaya membangun diri sebagai sosok yang memiliki karakter.  Jati dirinya sebagai sosok yang beriman, setia, tulus, pekerja keras, pantang menyerah dalam mengejar prestasi, gotong royong, menghargai kemajemukan, mencintai perdamaian tetap teguh dipertahankan.  Bagi Leo, karakter adalah harga mati yang tidak bisa diperjualbelikan.  Kepribadian, jati diri dan karakter seseorang pasti mewarnai masyarakat, bangsa dan negara.
 Parmahan dari Sei Bambam
Masa kecil Leo tidak jauh beda dengan anak-anak kampung Sumatera Utara pada umumnya.  Suasana pedesaan di Kampung Jeruk, Sei Bambam, Kabupaten Serdang Bedagai, yang sejuk, damai, penuh gotong royong.  Ia suka bermain di sawah, bermain bola, mengajarinya bergaul, toleran dan berbagi dengan sesama.  Ia membantu orang tuanya, almarhum Gr. H. Nababan, seorang guru jemaat (voorhanger) dan ibunya L. br. Simanjuntak, guru SD, denganmarmahan, menggembala kerbau dan itik sepulang sekolah.
Lahir dari keluarga sederhana dan menjadi parmahan tidak membuatnya berkecil hati, apalagi putus asa.  Ayah ibunya berasal dari dusun Paranjoan, Huta Kopi, Desa Lumbantongatonga, Siborongborong.  Desa kecil yang sejuk dan subur tanahnya, menghasilkan kacang tanah Sihobuk yang enak dan renyah, tidak kalah dengan kacang berkualitas ekspor.  Siborongborong juga terkenal sebagai penghasil kopi dan ombus-ombus.  Kebun-kebun yang tanahnya subur ditanami biji kopi, bahkan menjadi salah satu pensuplai merk dagang kopi Starbucks yang mendunia.  Bersama orang tua dan tiga saudara, Ia tinggal di rumah kecil di samping gereja.  Sebagai anak guru Injil, selama bertahun-tahun Leo harus bangun pagi untuk membangunkan masyarakat sekitar dengan membunyikan lonceng (giring-giring) gereja.  Leo tidak pernah membantah tugas dari orangtuanya.
Sebaliknya, Ia justru sangat bangga bisa membangunkan warga sekitar untuk bangun pagi dan bekerja.  Ini merupakan didikan orang tua untuk disiplin yang ditanamkan sejak kecil.  Bangun pagi, Leo sangat gembira melihat kandang bebek di belakang rumahnya banyak bertelur.  Kemudian Ia memberi makan bebek-bebek itu dengan dedak yang dicampur tumbukan bekicot.  Itulah rutinitas setiap pagi yang dikerjakannya sebelum memulai aktivitas belajar di sekolah.
Latar belakang orang tuanya yang pendidik membekali Leo cakrawala pengetahuan untuk terus maju.  Mengutamakan pendidikan memang menjadi salah satu ciri khas dan tradisi Batak meski dalam kondisi sulit sekalipun.  Sejak kecil, Leo harus berjuang menghadapi kerasnya hidup dengan membanting tulang.  Ayahnya hanyalah guru jemaat di gereja HKBP Kampung Jeruk, gajinya hanya beberapa kaleng beras dan ibunya guru golongan rendah.  Tapi Leo sangat bangga dengan orang tuanya yang mengajarkan disiplin, mengandalkan Tuhan, selalu bersyukur dalam segala hal.  Bekerja dan berdoa.  Ora et Labora.
Sewaktu menggembala kerbau di hamparan persawahan, lewatlah sebuah pesawat terbang.  Leo berdoa, “Tuhan, Aku ingin naik pesawat terbang sekali saja.”  Sebuah doa yang sangat sederhana dan lugu tapi lahir dari lubuk hati terdalam.  Tuhan memang tidak tidur.  Ternyata doa Leo dikabulkan 25 tahun kemudian.  Dalam sehari, Ia bisa lima kali naik pesawat pulang balik.  Bahkan, Ia bersama Agung Laksono juga sempat naik pesawat tercanggih sebelum  dipasarkan yakni A 380 di pabrik pesawat terbang Air Bus di Toulose, Perancis Selatan.  Ia bersyukur melihat karya Tuhan yang sungguh luar biasa.  Kebesaran Tuhan ini mengingatkan Leo dengan ayat perjanjian Jeremia 33:3.  Leo pun bertanya dalam hati, “Siapa aku ini Tuhan, sehingga Engkau tunjukkan perkara yang begitu besar diluar kemampuanku untuk mencernanya?
Ketika duduk di punggung kerbau saat hendak memulangkannya ke kandang, Leo sesekali berkhayal.  Ia berimajinasi, kelak ingin hidup sejahtera, turut mengisi kemerdekaan dengan mencita-citakan Indonesia baru yang lebih baik, persis seperti keinginan dan gagasan para pahlawan pendiri bangsa terdahulu.
Belajar keras sejak kecil Ia lakukan hingga selalu menjadi juara kelas di bangku SD hingga SMA.  Bakat kepemimpinannya pun menonjol.  Ia selalu menjadi ketua kelas.  Semasa SMP, ia sempat belajar di SMP 2 Tebing Tinggi.  Ia harus tinggal di tempat kost belajar kemandirian hidup dari kecil.  Karena ada tiga tungku yang berbeda, sang kakak di Pematang Siantar, Leo di Tebing akhirnya keluarga Leo pindah ke Medan pada tahun 1975-an dan berkumpul dalam satu rumah lagi.  Mami–panggilan kepada sang Ibu- bekerja sebagai guru SD Negeri 72 Medan Area.  Leo pun pindah sekolah ke SMP N 3 Medan.  Melanjutkan di SMA Negeri 5 Medan, ia tidak mau diajar Papi–ayahnya yang kebetulan mengajar disana karena tidak mau KKN.  Leo ngotot tidak mau diajar ayahnya sendiri yang menjadi guru agama.  Leo sebenarnya ingin pindah ke SMA I tapi tidak ada biaya.  Meski badannya kecil, Leo selalu menjadi ketua kelas dan Ketua Organisasi Siswa Indra Sekolah (OSIS), hanya bolong 3 bulan.  
Memulai hidup baru di kota Medan, dengan berkumpul lagi satu keluarga merupakan satu langkah tersendiri bagi Leo Nababan.  Di rumah maupun di luar rumah, Leo terbiasa disiplin dan tertib.  Di belakang rumah ada masjid besar, begitu azan, Leo bangun, terus bergegas olahraga.  Leo lari dari rumah ke Stadion Teladan hampir 2 kilometer setiap pagi.  Sampai saat ini, Leo Nababan pun sudah terbiasa terbangun setiap subuh.
Setiap hari, Leo terbiasa bangun pagi, pukul 04:30 WIB.  Tanpa alarm pun, Ia selalu otomatis bangun pagi.  Dari rumahnya yang kecil, lari pagi ke Stadion Teladan, Medan, memutari stadion, terus balik lagi ke rumah.  Jarak rumah ke sekolahnya yang terletak di Jalan Pelajar no. 69 Medan, sekitar 2 kilometer, ditempuh dengan jalan kaki.  Seringkali Ia mencopot sepatu karena jalanan yang becek.  Pulang sekolah, Leo membawa nasi basi untuk ternak babi yang terletak di ujung Jalan Bahagia.  Dari Jalan Bahagia, Leo berjalan kaki menembus Jalan Bakti sampai di Jalan Pendidikan yang dulunya Gang Pendidikan.  Di Jalan Pendidikan, terdapat gang sempit yang hanya cukup untuk papasan motor roda dua, bernama lorong G yang terletak di dekat gereja dan sekolah SD HKBP Pendidikan.  Di sebuah rumah kayu sederhana, Leo menempati satu kamar di bagian depan bersama adiknya.
Rutinitas dan disiplin yang diterapkan Leo Nababan setiap pagi sejak kecil ternyata mendongkrak tekad, motivasi dan semangatnya untuk terus maju.  Kesadaran pentingnya nilai disiplin yang dibangun Leo dini membuatnya memiliki nilai lebih dibanding anak-anak seusianya kala itu. Ada niat, ada tekad.  Kesadaran akan bernilai jika muncul dari hati dan diri sendiri merupakan harta yang melebihi emas berlian.  Disiplin bisa saja dilihat sebagai hal sepele tapi kenyataannya, sangat menentukan masa depan seseorang.  Disiplin mestinya ditanamkan sejak masa kanak-kanak, bahkan sejak bayi dalam kandungan.
Setiap bangun pagi, Leo lari pagi menelusuri Jalan Bakti, ke Jalan M. Joni (Pasar Merah), sampai Stadion Teladan.  Setelah memutari Stadion balik lagi ke rumah.  Jaraknya kurang lebih 2 kilometer.  Jadi, kalau pulang-pergi menempuh sekitar 4 kilometer.  Sampai rumah, Ia mandi dan bersiap berangkat sekolah.  Di belakang rumah, terdapat masjid besar.  Tiap lebaran dan hari raya Qurban, Leo ikut takbiran dan menyembelih kambing.  Ia juga bergaul dengan kawan-kawannya yang berasal dari berbagai suku seperti Aceh, Jawa, Minang, dan Melayu.
Jarak SMP dan SMA-nya berdekatan, yakni di Jalan Pelajar nomor 17.  Karena kesulitan uang, sewaktu duduk di bangku SMA, Leo mengkoordinir kawan-kawannya untuk les di rumahnya.  Dinding rumahnya yang terbuat dari papan, digunakan sebagai papan tulis.  10 orang kawannya iuran untuk membayar guru les.  Sambil ikut belajar, Leo yang menyiapkan makanan.  Bila malam tiba, Leo punya cara belajar yang unik, yakni menggunakan ikat kepala.  Kedua kakinya dimasukkan ke baskom berisi air, agar tidak mengantuk.  Jadi tekad baja itu kata kunci.
Sejak kecil Leo Nababan berniat menaklukan pulau Jawa, meski di Sumatera Utara ada kampus ternama yakni Universitas Sumatera Utara (USU).  Namun, pemimpin dan sekolah terbaik masih terpusat di Jawa.  Ia pun bertekad untuk dapat melanjutkan kuliah di perantauan.  Tahun 1981, Leo melalui Proyek Perintis 2 diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) tanpa test.  Tapi duit tidak ada.  Tanah di kampung Siborongborong pun dijual oleh orangtuanya, itu pun Leo baru tahun belakangan setelah puluhan tahun kemudian.  Tekanan ekonomi membuat Mami meminjam uang Rp. 1,2 juta untuk berangkat ke IPB.  Gaji Mami yang tidak seberapa dipotong Rp. 100-ribu per bulan.  Leo mendapat kiriman wesel sebesar Rp. 35-ribu tiap bulan dan harus berjuang hidup di perantauan.
Dalam budaya orang Batak, menjual tanah untuk menyekolahkan anak, bukanlah kesalahan, bahkan itu menjadi kebanggaan.  Orangtua Leo Nababan ternyata menjual gadai tanah di Siborongborong untuk membiayai anak sekolah.  Puluhan tahun kemudian, Leo baru mengetahuinya dari Namboru (Makcik), itupun tanpa sengaja.  Kemudian, tanah itu pun ditebus kembali oleh Leo.
Ada pengalaman khusus yang tidak terlupakan bagi Leo menjelang ke IPB.  Untuk persiapan masuk IPB, Mami berniat membeli koper, tapi uang pas-pasan.  Di pasar, Mami naik turun hanya menawar-nawar.  Ternyata ada seseorang yang memperhatikan Mami yang hanya berputar-putar sambil menawar-nawar koper.  Setelah memperhatikan Mami dengan seksama, orang itu kemudian datang menghampiri.
“Ibu…, Ibu Simanjuntak ya.  Saya murid Ibu dulu,” cerita Leo mengenang kisah Ibunya sambil meneteskan air mata.  Mami senang bertemu dengan mantan murid SD-nya.  Setelah ngobrol, akhirnya si murid tahu kalau gurunya sedang mencari koper.  Si murid kemudian memanggil pedagang koper, minta koper terbaik untuk Mami dan membayarnya.  Mami pun tidak bisa berkata banyak selain mengucapkan terima kasih.  Kalau mau sukses, menghormati orangtua dan guru adalah sebuah keharusan.  Bagi Mami, “Asal kau sekolah, Amang, kulitku pun kujual.” Katanya selalu.
Bulan Juni, tanggal 16, Leo berangkat ke Jakarta naik kapal laut Tampomas, tujuannya Bogor ke kampus IPB.  Hari itu, Ia membulatkan tekad, memulai hidup di perantauan.  Sampai di Tanjung Priok, Leo kemudian menuju ke rumahTulang-nya (paman), saudara dari Maminya,  dokter Todotua Simanjuntak, ahli kanker pertama di Indonesia lulusan Jerman Barat, tapi sayang umurnya pendek.  Sesampainya di Jakarta, Leo pun langsung dites oleh sang paman.  “Kalau mau hidup di Jakarta, harus bisa survive,” ujarnya menirukan mendiang sang Tulang (paman) yang tinggal di kawasan Duren Sawit, ketika itu.
Leo kemudian disuruh menggambarkan daerah Cililitan, Blok M dan Tanjung Priok, berangkat pagi dan harus pulang kembali ke rumah sebelum pukul 16:00 WIB.  Leo diberi uang hanya Rp. 300 dan kartu nama di saku.  Karena Leo tahu Ia sedang dites sang paman, maka Ia pun bersemangat membalasnya.  Leo berhasil melaksanakan tugasnya, kembali ke rumah paman sebelum waktu yang ditentukan.  Leo bilang ke tukang rokok yang ada di dekat rumah pamannya agar tidak memberitahunya tapi memastikan pukul 15:00 WIB sudah kembali.  Karena sudah sore, sesuai kesepakatan, sang paman menunggu di rumah.  Tapi Leo tak kunjung kelihatan batang hidungnya.
Hari beranjak malam sementara paman gusar dan kebingungan mencarinya, takut kalau keponakannya hilang.  Ketika jarum jam menunjuk ke angka 21:00 WIB, uang hanya diberi Rp. 300 dan kartu nama di saku.  Leo baru kembali ke rumah.  Sambil berpura-pura, sang paman mengatakan kalau Leo gagal.  Tapi Leo berkilah sembari tersenyum, “Tulang tanya saja ke tukang rokok sebelah.  Aku sudah sampai jam tiga.”   Paman langsung bertepuk tangan sambil berteriak, “Ito…  (Bilang pada Mami), pulanglah kau. Jago anakmu ini, bere-(keponakan)ku ini. Dan aku jamin dia akan sukses menaklukan Jakarta.”
 Aktivis harus bisa mengorganisir diri!
Hari-hari awal di kampus IPB Bogor dilalui Leo dengan gojlokan dari para seniornya.  Mulai dari gojlokan fisik dari lompat kodok hingga ujian mental lainnya.  Di IPB, Leo kembali menempa dirinya sebagai aktivis mahasiswa dan aktivis politik.  Selain sebagai aktivis senat mahasiswa, Ia juga aktif bergiat dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).  Setahun di GMKI, terjadi perpecahan.  Suatu malam, Alex Litay, anggota DPR RI mantan sekjen PDIP memberinya surat sebagai karateker.
Suatu ketika, pada sebuah seminar, Leo membuat ulah.  Dengan rambut gondrongnya dan sebagai aktifis senat, Leo berani mengusir almarhum Brigjen Soedarto, Ketua Umum Perunggasan Indonesia.  Dengan lantang Leo berteriak, “Usir ini pembicara!  Dia Jenderal Angkatan Darat, buka ahli perunggasan!”  Namun dengan jiwa kebapakan, almarhum Brigjen Soedarto dengan ramah menenangkan massa malahan meminta untuk Leo mau dijadikan kader Kosgoro.  Itu awal Leo mengenal nama Kosgoro.  Rupanya Jenderal Soedarto adalah seorang Tentara Pelajar Jawa Timur yang mengusir Belanda di zaman perang 1945 dan jabatannya saat itu Ketua Umum Perunggasan.
Dengan semangat mudanya sebagai mahasiswa, Leo seringkali membuat ulah sehingga dipanggil Komandan Kodim (Dandim) setempat.  Di IPB, Leo berkenalan dengan banyak aktivis mahasiswa yang kini menjadi tokoh-tokoh politik berpengaruh seperti Rambe Kamaruzzaman, Johny Allen dan lainnya.
 Tiga hari kemudian, Ketua Umum Mahasiswa Kosgoro, Rambe Kamaruzzaman datang ke kampus mencari Leo Nababan dan meninggalkan AD/ART dan Peraturan Organisasi Kosgoro, menyampaikan pesan Brigjen Soedarto untuk dipelajari.  Sekaligus menyampaikan pesan agar membentuk Gerakan Mahasiswa Kosgoro di IPB Bogor.  Leo pun bagian dari pendiri Gerakan Mahasiswa Kosgoro, Bogor.
 Dua tahun kemudian, masuk angkatan ke-20 di IPB Bogor.  Leo dipanggil oleh Pembantu Rektor III Dr. Ir. Palawaruka memberitahu anak presiden, RI Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamik) akan masuk IPB dan Leo diminta untuk “mengamankan,” menggojlok, karena pada masa itu sedang ganas-ganasnya melakukan orientasi kemahasiswaan.   Pada masa Leo, banyak putra-putri orang penting yang belajar di IPB seperti saya putri Menteri Pendidikan Daud Jusuf dan Menteri Pertahanan Jenderal Poniman.
Pada masa Leo masuk kampus IPB tidak bisa anak baru jalan seenaknya.  Begitu masuk kampus, langsung diperintah senior lompat kodok sekitar 150 meter.  “Kalau tidak, kita langsung ditendang,” kenang Leo.
Ketika itu, NKK/BKK sedang gencar-gencarnya.  Dandim kerjasama dengan kampus untuk mengamankan Siti Hutami.  Aktivis yang sudah dibina adalah Leo, dan ia diberi prioritas untuk menggojlok Mamik.  “Saya tidak membayangkan, saya seorang parmahan dari kampung menggojlok anak Presiden RI yang sangat berkuasa kala itu,” tutur Leo.  Kala itu, seorang anak Presiden pun mendapat perlakuan yang sama.  Peraturan juga berlaku sama, hanya saja dikondisikan sealami mungkin.  Penggojlokan bukan untuk menyakiti fisik, tapi sebagai latihan mental.  Mamik pun tahunya belakangan.
Di angkatan ke-20, Mamik masuk kelompok satu.  Mahasiswa baru diharuskan menyanyikan lagu engran.  Oleh Leo, sebuah pulpen diikatkan dipantatnya, untuk dimasukkan ke dalam botol.  “Kita dulu kurang ajar semua.  Gojlokannya jorok.  Tapi ada kedekatan dengan senior.  Ikatan emosionalnya sangat kuat. Kawan-kawan seangkatan pun sangat kompak,” tandas Leo.  Kondisi ini yang hilang di zaman sekarang.
Selain Mamik, ada juga mahasiswi baru, cantik, dari Jakarta yang menjadi korban gojlokan Leo.  Di jurusan Peternakan, Leo mengambil odol dan sikat gigi.  Lalu menyuruh gadis cantik itu pergi ke kandang domba, menggosok gigi domba itu, sampai habis odolnya.  Celakanya, banyak pula yang jatuh cinta karena disiksa habis.  “Itulah kenangan indah selama kami di kampus.  Saya alumni Undip, tapi saya merasa dekat dengan IPB,” kenang Leo.  Ada peraturan tak tertulis di kampus waktu itu, bahwa mahasiswa satu angkatan tidak boleh dipacari karena mereka milik senior.  “Kita tunggu lagi satu-dua tingkat dibawah,” lanjut Leo Nababan.
Pada tahun 1980-an awal, Gema Kosgoro Kodya Bogor dibentuk, Takala Hutasoit menduduki posisi sebagai Ketua, Leo menjabat sebagai wakil ketua sementara Mamik menjadi wakil bendahara.  Sampai sekarang, Mamik tetap memanggil Leo dengan sebutan “Senior.”  Aktif di Gema Kosgoro otomatis Leo aktif di Golkar, 28 tahun kemudian, Leo bertemu kakak Mamik, Titiek Soeharto sama-sama sebagai pengurus DPP Partai Golkar.  Leo memilih menggunakan jalur prosedural ketimbang jalur kekuasaan meski Leo bisa saja melakukannya jika Ia mau.  Leo memilih karir organisasinya berjalan alami, dari bawah.  Tapi kesabaran itu justru berbuah baik, Leo tumbuh menjadi politisi yang matang.  “Mbak, yang pertama masuk di Golkar bukan Mbak Titiek, tapi Mamik,” seloroh Leo meledek Titiek Soeharto sembari bercanda.
Aktivitas organisasi menempa Leo tidak saja sebagai kader organisasi tapi Leo juga belajar mengorganisir diri.  Aktivis yang benar, katanya, justru harus disiplin waktu, tertib dan tidak semaunya sendiri.  “Organisatoris harus bisa menata diri!  Harus bisa mengorganisir diri, pikiran dan tindakan.  Banyak organisator yang hidupnya terlunta-lunta karena tidak disiplin,” tandasnya.
Seorang aktivis dan organisator yang baik, menurut Leo, harus selalu berfikir positif, menjaga sopan santun, menerima kelebihan orang lain dan tidak sombong.  Di Indonesia, banyak orang tidak bisa menerima kekalahan dan sulit menerima untuk mengakui keberhasilan orang lain.  Menjadikan hiruk pikuk dunia politik kita sangat noisy, sangat ribut.
Sewaktu di IPB Bogor, dengan uang saku Rp. 35 ribu perbulan, membuat banyak mahasiswa seperti Leo harus hidup prihatin, bahkan ada istilah, “makan tilu ngaku siji”.  Banyak mahasiswa harus berhutang di warung untuk makan.  Puluhan tahun setelah meninggalkan IPB, Leo mendatangi tukang sate di dekat kampus sebagai pengakuan dosanya sembari menitip amplop.  Dulu Leo sering makan banyak disana tapi tidak bayar.  Tukang sate menjawab, “Aku tahu kau suka makan banyak dan tidak bayar.”
Ternyata Leo tidak bertahan lama di IPB karena ketatnya sistem perkuliahan memaksa Leo mundur dan pindah ke Undip Semarang  jurusan nutrisi dan makanan ternak.  Namun, lagi-lagi, aktivitas organisasinya sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Pindah ke Semarang, Leo masuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).  Di sana Leo aktif bersama tokoh-tokoh pemuda kala itu seperti Cahyo Kumolo, Bambang Sadono, Akhmad Muqowam, dan lainnya.  Leo dan Muqowam masuk KNPI dari unsur mahasiswa Undip.
Darah muda mahasiswa Leo yang jahil pun tak berhenti di Semarang.  Suatu ketika, Ahmad Muqowam pun dikerjain Leo.  Ada seorang cewek bernama Munawaroh.  Pada Munas KNPI, oleh Leo Nababan, Munawaroh dijodoh-jodohkan dengan Muqowam.  Ketika mereka bersama dalam satu delegasi menghadiri kegiatan mahasiswa, Leo memainkan aksinya.  Dengan pengeras suara, Leo memberitahukan, “Panggilan… Panggilan dari Ahmad Muqowam untuk saudari Munawaroh, ditunggu di pintu timur!”  Muqawam pun meradang, “Brengsek.  Pasti si Batak itu!”
Beberapa tahun kemudian, aktivis-aktivis pemuda dan mahasiswa ini masuk di tingkat nasional. Cahyo Kumolo menduduki posisi Ketua Umum KNPI.  Ahmad Muqowam di PB PMII, Leo Nababan menjadi Sekjen DPP Gema Kosgoro, sementara Bambang Sadono memegang posisi Ketua DPD Golkar Provinsi Jawa Tengah.
Leo juga aktif di Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI), bahkan berperan penting menyelamatkan organisasi.  Pada masa Agus Gumiwang menjabat Ketua Umum, Ferry Mursidan Baldan menjabat Sekjen, Leo duduk sebagai salah satu Ketua DPP.
AMPI sempat mati suri.  Kala itu rezim Orde Baru runtuh, banyak orang meninggalkan partai dan AMPI sebagai organisasi terbengkalai, mati segan hidup tak mau.  Pada masa Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum Golkar, Leo dipanggil Ketua OKK DPP Golkar, HR Agung Laksono untuk menghidupkan kembali DPP AMPI.  Leo diperintahkan untuk menyelenggarakan Munas padahal secara de facto, AMPI saat itu sudah tidak berfungsi lagi.
Dengan penuh keberanian, Leo Nababan menjalankan perintah, mengambil alih pelaksanaan munas AMPI yang berlangsung di Pasuruan, Jawa Timur.  Peran strategis Leo Munas ini berhasil menghidupkan AMPI yang mati suri.  Dalam sambutannya di Munas, Ketua Umum Akbar Tanjung menyebut Leo sebagai “Ketua Umum 3 hari dan Pelaksana Munas Pasuruan berhasil mengkonsolidasi AMPI yang sudah tidur 12 tahun.”  Munas Pasuruan akhirnya pun dan mengangkat Fachri Andi Laluassa sebagai Ketua Umum dan almarhum Hendri Indra Utama sebagai Sekjen. Leo sendiri menduduki posisi sebagai Ketua OKK DPP AMPI.  Sulit dibayangkan nasib AMPI saat ini jika ketika itu Leo tidak mengambil alih pelaksanaan Munas, bisa jadi, AMPI tidak akan ada hingga saat ini.  Bahkan, AMPI sekarang kembali menjadi besar dipimpin oleh putra HR Agung Laksono, Dave Laksono.
Jiwa aktivis Leo Nababan tetap bergelora dan sebagai dasar organisasinya di Kosgoro, maka Leo tetap bergiat di ormas induknya.  Pada era reformasi, Kosgoro pecah.  Terjadi dualisme kepemimpinan antara Kosgoro yang dipimpin Agung Laksono dan Kosgoro yang dipimpin Hayono Isman.  Di kantor DPP Golkar Slipi, Agung dan Leo berbicara panjang untuk mendirikan Kosgoro alternatif, namun mereka tidak mau mengingkari sejarah ormas itu.   Maka kemudian disepakati nama Kosgoro 1957, organisasi Kosgoro yang tetap berkiprah di Golkar.  Pendirian Kosgoro 1957 tidak terelakkan, karena tidak ada lagi pertemuan pemikiran.  Perbedaan yang terjadi sudah menyangkut hal yang sangat prinsipil, yakni Kosgoro yang dipimpin Agung Laksono kelak di kemudian hari tetap di Golkar dan Hayono Isman netral.  Beberapa tahun kemudian, Hayono Isman mengingkari janji netralitasnya dan masuk ke Partai Demokrat.
Pada saat itu, Agung Laksono menugaskan Leo menciptakan lambang Kosgoro dan lagu diciptakan oleh Darma Oratmangun.  Leo memeras otak.  Leo dengan jujur mengatakan lambang Kosgoro ciptaannya dengan bukti dasar, dasar putih artinya kesucian, dan Leo berasal dari Gema Kosgoro.  Lambang gerakan mahasiswa kosgoro adalah putih.  Tapi secara objektif, dasar putih adalah kesucian perjuangan.  Sedangkan 3 burung adalah Tri Dharma Kosgoro itu sendiri.  Sedangkan 17 adalah 17 Agustus, 8 adalah bulan, 45 adalah tahun dan yang terpenting yakni segi lima dan kuning adalah Pancasila dan Golkar.  Namun, pada saat itu, angka 1957 dibuat di luar segi lima.
Kemudian Toto Mulyanto meminta untuk memasukkan angka ke dalam segi lima.  Dan belakangan, sewaktu lambang ini akan diputuskan, Toto ikut mengklaim sebagai ciptaannya.  Leo menentang karena ide dasar berasal dari Leo sementara Toto hanya mengusulkan posisi pindah ke dalam.  Akhirnya dalam forum resmi Rapimnas di Hotel Sahid, Leo menjelaskan sejarah ini.  Tapi sampai saat ini belum diakui bahwa lambang itu ciptaan Leo, karena klaim dari Toto.  Namun yang paling lucu, Toto pindah ke Partai Demokrat.  Dibelakang hari otomatis dia gugur atau keluar dari Golkar karena Undang-Undang Partai Politik.
Leo Nababan pun tidak mempermasalahkannya karena, bagi Leo, seperti pelajaran yang diterimanya di Lemhannas, kebenaran itu tidak ada yang mendua dan itulah doktrin Lemhannas.  Tapi Leo yakin dan percaya, suatu saat penciptaan itu akan diakui oleh organisasi Kosgoro 1957 dan pengurusnya.  Dan sejarah itu benar apa adanya.  Tidak bisa dibohongi.  Disinilah Leo belajar pentingnya sebuah integritas.
Pengalaman lain yang sangat unik bagi Leo Nababan adalah sewaktu kongres KNPI.  Di sana terpilih Maulana Isman sebagai Ketua Umum.  Pada saat pembacaan pandangan ormas, Leo membacakan hasil yang diputuskan rapat bahwa Gerakan Mahasiswa Kosgoro menolak pencalonan Ketua Umum Maulana Isman karena sehari sebelumnya Leo bersama Ketum Gema Kosgoro, Zainudin Amali, menjumpai kakaknya, Menpora Hanyono Isman.  Di ruangannya, Menpora, meminta supaya jangan mendukung Maulana karena beberapa pertimbangan.
“Kami taat azas. Kami menghadap Menpora dan Menpora minta jangan Maulana, ada pertimbangan lain,” tutur Leo Nababan.  Namun, Leo tetap bersyukur walaupun menyatakan kebenaran itu pahit.  Maulana Isman hanya aktif satu tahun, setelah itu KNPI tidak jalan, sampai kongres berikutnya yang memilih Adyaksa Daud sebagai Ketua Umum.  Hingga pergantian pengurus, Maulana tidak hadir di kongres berikutnya dan tidak bisa mempertanggungjawabkan masa kepengurusannya.  Keberanian melawan arus membuat Leo disegani dan dihormati di lingkungan aktivis.  Disitulah Leo membangun integritas politiknya, berani mengatakan kebenaran walaupun pahit.
Pengalaman berorganisasi juga mengajari Leo pentingnya silaturahmi.  Kendati berbeda pandangan politik, namun silaturahmi tetap jalan.   Hubungan Leo dengan Maulana Isman tetap berjalan dengan baik bahkan pada perkawinan anaknya.  Leo tetap hadir meski Ia tidak diundang.  “Kita boleh berbeda politik, tapi Doni adalah ponakan saya, maka saya hadir,” ujar Leo kepada Maulana.  Hubungan kekeluargaan dan persaudaraan diantara mereka pun berjalan dengan baik sampai sekarang.
Kehidupan organisasi mengajari Leo bagaimana mengejawantahkan politik yang berkarakter.  Meski pandangan politik berbeda-beda, tapi tetap sesuai dengan aturan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta tunduk pada keputusan organisasi.  Di sinilah Leo belajar membangun integritas dan kesetiaan selama puluhan tahun berkiprah di partai berlambang beringin.
Ujian integritas Leo Nababan pun dialaminya di Partai Golkar.  Ketika Ketua Umum Akbar Tandjung masuk pengadilan karena skandal Bulog, Leo bersuara lantang mengkritik keras.  Dalam wawancara dengan media massa, Leo justru meminta Akbar agar mundur sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR.  Bagi Leo, tidak pantas Ketua DPR dan Ketua Umum Partai duduk sebagai pesakitan kasus korupsi.  “Masa Bapak rakyat duduk di kursi terdakwa”, ujar Leo.
Akbar tentu saja sangat marah dengan menegur langsung Agung Laksono.  Hal itu justru membuat Leo semakin meyakini prinsip hidupnya.  Sampai saat ini Akbar tidak pernah menegur Leo secara langsung.  “Saya menganggap hubungan kami tetap baik saja.  Tapi apa yang tertulis di hati, saya sampaikan walaupun melawan arus.  Itulah integritas.  Prinsip hidup harus tetap dijaga.  Saya tetap akan berguru pada Akbar Tandjung sebagai politisi kawakan,” tandas Leo.  Lantaran mengkritik sang Ketum, Leo bahkan sempat dijauhi kawan-kawannya, karena takut kena imbas sikap Leo.  Seperti orang mengidap sakit kusta, sewaktu Leo datang di kantor DPP Golkar, sebagian besar orang menjauhi Leo.  Terakhir, Akbar Tandjung bebas murni dan Leo pun menghormati putusan MA.
Pada pemilu 2004, Leo tidak mendapatkan tempat di Partai Golkar karena sikap kritisnya dan hanya berada di nomor urut 8.  Seorang pimpinan dan pendiri Partai Demokrat yakni Vence Rumangkang mendatanginya dan menjanjikan nomor urut 1 di Dapil Sumut 1.  Leo kemudian meminta saran kepada atasannya, Agung Laksono.  Semalaman Leo berdoa, “Apapun putusan Agung Laksono, saya ambil berlawanan. “Agung menyarankan Leo untuk ikut Partai Demokrat, tapi Leo justru tidak mau.  Leo secara sadar memilih tidak memenangi pemilihan legislatif 2004 ketimbang harus loncat ke partai lain. Seorang politisi, menurut Leo, harus memegang PDLT.  Prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela.  Salah satunya dengan tidak pindah partai, karena berpolitik harus punya prinsip.  Tidak pindah partai karena jabatan adalah amanah.
Kehidupan organisasi ternyata menggembleng dan mematangkan sosok Leo.  Ia belajar berorganisasi dari bawah, mulai dari staf ormas, ketua departemen, sekjen ormas hingga wakil sekjen partai.  Dalam usia 50 tahun, hampir 33 tahun Leo menjalaninya sebagai aktivis.  “Menurut saya, kegagalan parpol karena tidak adanya system yang baik khussunya dalam kaderisasi.  Dan parpol yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan kader partainya sekaligus kader bangsa.  Di China, untuk sampai politbiro harus menempuh pendidikan puluhan tahun sebagai kader.  Ini persoalan bangsa.  Tidak heran saat ini banyak politisi kutu loncat,” kata Leo.  Harus diakui, tidak ada pendidikan kader berjenjang di tubuh sipil padahal itu merupakan tugas partai politik.  Namun hingga sekarang, tugas itu belum dilaksanakan secara maksimal.  Bagi Leo, membangun karir harus ditekuni dengan baik dan benar.  Tidak boleh semata karena mencari kedudukan tapi harus sesuai dengan ideologi dan visi.
Sejak 2006, keyakinan berprinsip dan berintegritas semakin diyakini Leo Nababan terutama ketika memasuki pendidikan di Lemhannas.  Belajar di Lemhanas, membuat Leo kian memperluas cakrawala berfikirnya.  Di lemhannas, Leo diajarkan tentang strategi dan taktik, geopolitik dan geostrategi dan berpikir secara konseptual dan integral.  Sebagai contoh, dulu Ia merasa, Golf adalah olahraga untuk kaum borjuis.  Tapi ternyata golf mengajari bagaimana menggunakan strategi.  Bermain golf adalah melawan diri sendiri, mengendalikan diri dan emosi.  Golf adalah belajar mengambil keputusan. Ketika belajar di lemhannas, Leo mendapat banyak jaringan di birokrat, militer, dan politisi.
“Di lemhannas, kita diajarkan untuk menjadikan NKRI menjadi bangsa yang harus tegak di mata dunia dengan mengandalkan budaya Indonesia,” tutur Leo.  Mengubah cara berfikir, juga mempengaruhi cara bergaul.  Sebagai sosok yang pandai bergaul dengan banyak kalangan, Leo sadar betul pentingnya membuat jejaring.  Pengalamannya belajar di Lemhannas semakin mematangkan dirinya secara usia maupun karir.
Persembahan untuk Mami Papi
Di Jalan Pendidikan, Medan, nomor 73, di depan gereja dan SD HKBP terdapat sebuah rumah yang asri.  Di halaman depan yang cukup luas, penuh dengan bunga warna-warni.  Di ruang tamu, terdapat perabotan yang bisa dibilang tidak murah.  Namun juga tidak terlalu mahal untuk ukuran saat ini.  Di dindingnya terpampang lukisan besar Yesus.  Pada dinding yang lain terdapat foto-foto Leo Nababan di kala muda, mulai foto dengan Rudini hingga bersama Habibie.  Rumah itu merupakan persembahan untuk papi-maminya sewaktu bekerja di BPPC, Manado.
Pada usia muda, Leo Nababan diberkati dengan diberi kepercayaan sebagai Kepala Cabang PT. Hunapama Niagatama, sebuah perusahaan nasional di Manado.  Kala itu, Direktur Utamanya adalah ibu Christiany Eugenia Paruntu, yang saat ini menjabat sebagai Bupati Minahasa Selatan.  Perusahaan tersebut ditunjuk oleh Tommy Soeharto menjadi cabang BPPC se-Sulawesi Utara, dari Sangihe sampai Gorontolo yang ketika itu masih satu provinsi.  Secara otomatis Leo menjabat Kepala Cabang BPPC se-Sulawesi Utara.  Tiga tahun kerja keras di Sulawesi Utara, Leo dapat mendirikan rumah baru, persembahan untuk orangtua tercinta, lengkap dengan perabotannya.  Leo masih ingat, sempat ikut membeli piring, sendok, garpu, gelas, berpeti-peti ke Pasar Sambu.  Mami sangat bahagia menikmati rumah barunya.  Bisa dibayangkan, dari rumah di lorong setengah batu, Mami pindah ke rumah besar yang lumayan mentereng.  “Sayalah mungkin putera Batak satu-satunya yang menenteng Mami belanja ke Pasar Sambu mulai beli gelas Duralex, piring Duralex, garpu, sendok dan lain-lain,” ujar Leo sambil mengenang masa lalu.
“Dulu, pada zaman susah, Mami ingin sekali punya meubel ukiran Jepara.  Setelah dibelikan, Mami suka tiduran siang hari di kursi ini,” tutur Leo mengenang mendiang almarhum Ibunda tercinta sambil duduk di kursi itu sembari meneteskan air mata.
Bagi Leo, sosok mami adalah malaikat.  Surga ada di telapak kaki ibu.  Leo tidak mungkin melangkah tanpa bimbingan sang Mami.  Leo sangat sadar betapa sayang Mami kepadanya.  Demikian pula sebaliknya.  Enam tahun Mami menikmati rumah baru itu, akhirnya Mami berpulang menghadap Yang Kuasa, dan Papi pun menjadi duda.  16 tahun kemudian Papi pun menyusul Mami.  Sampai sekarang, bila ada tugas dinas organisasi atau kepartaian yang mengharuskan Leo pulang ke Medan, Ia enggan tidur di rumah itu karena sangat membekas kenangannya tentang sang Mami.  Leo pun memilih tidur di Tiara Hotel.  Setiap singgah di Tiara Hotel, petugas hotel sudah hafal dengan kebiasaannya.  Sambil nongkrong di Café Tortor, Leo gemar mendengarkan music dan meminta penyanyi menyanyikan lagu Inang, Siung Mama dan Mother How Are You Today.
Orang yang menghormati Ibu, menurut Leo, adalah orang yang diberkati.  Ia mencontohkan orang-orang sukses adalah mereka yang sangat menghormati ibunya.  Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Syamsul Arifin adalah sosok-sosok yang sangat menghormati Ibundanya.  “Generasi muda, hormatilah Ibumu,” saran Leo.
Sebaliknya, jangan sampai anak-anak dikutuk oleh Ibu.  Anak-anak tidak boleh dimaki seperti kebun binatang.  Sebagai contoh, Ibu juga jangan menyebut anak dengan sebutan yang jelek.  Jangan dipanggil dengan sebutan yang tidak baik karena kelak, kelakuannya bisa mengikuti menjadi tidak baik.  Perkataan Ibu adalah doa.  “Jika dipanggil Honey, anakpun akan manis,” katanya.
Bagi Leo Nababan, Ibu adalah kekuatan hidup.  Berkat tak pernah kering dari Ibu.  Pamannya berpidato sewaktu penyerahan rumah di Jalan Pendidikan kepada Ibunya.   Sang Paman memberikan kata sambutan kepada hadirin, “Beruntunglah kau Ito.  Si Leo sudah berhasil membangun rumah besar untukmu dan mengisinya.  Jarang orang seperti engkau di mana anak-anaknya berhasil, tapi membangun pagar rumah ibunya pun tidak mau.  Namun, sewaktu mangapuLeo menjawab dengan tegas, “Ini bukan dari saya, ini adalah kehebatan Bapa-Ibu saya.  Papi Mami yang berhasil mendidik anak anaknya dan menabung di otak anak-anaknyanya.  Semuanya dari Tuhan.”  Menurut Leo, Papi-Maminya tidak menabung di bank, tapi di otak anak-anaknya.  Leo dan ketiga saudaranya berhasil menjadi sarjana di berbagai bidang, termasuk menantu.  Dan yang terpenting, semua itu adalah berkat dari Tuhan.
Bagi Leo, Ibu yang tegar adalah tiang negara.  Sejak kecil, Mami juga mengajarkan anak-anaknya untuk dekat dengan Tuhan.  Di benak Leo selalu terngiang doa Ibunya, “Kami tidak bisa melangkah tanpa Kau.  Langkah pun sudah Kau atur.”  Dang tarbahen hami mangalangka nature dunghope dongan name turema sasude.  Kami tidak bisa melangkah tanpa Engkau selangkahpun, setelah Engkau baru langkah kami teratur dan sempurna.
Setelah Mami meninggal, tentu saja Papi membutuhkan seorang pendamping.  Namun hingga di penghujung usianya ke-76, Papi tidak menikah lagi.  Ketika Papi berulang tahun ke-75, Leo memberi hadiah, didirikannya sebuah rumah adat cantik dan mungil di kampung kelahiran Papi di Siborongborong, untuk ayahanda tercinta.
 Beberapa langkah dari rumah adat cantik itu, terdapat sebuah rumah kayu tua, kecil, sederhana.  Hanya ada 3 kamar.  Dibawah rumah panggung itu, biasanya digunakan untuk ternak babi.  Disitulah sang Papi dilahirkan dan tinggal disana sebelum merantau ke Sei Bambam.  Rumah kayu tua itu sengaja dibiarkan seperti aslinya agar anak cucu tahu asalnya dari mana.  Tahu bahwa mereka berasal dari keluarga miskin.
Sewaktu mendirikan rumah tradisional Batak asli itu, Leo Nababan juga membersihkan kampung yang terdiri dari 8 rumah.  Semula, malam hari gelap gulita karena tidak ada sumber penerangan yang cukup, juga tidak ada sumber air yang memadai.  Sewaktu pencalegan, Leo membangun kembali kampung kelahiran Papi, serta memplester halaman rumah.  Sekarang, malam hari terang dengan lampu besar terpasang.  Persediaan air bersih juga memadai.  “Papi pernah datang, melihat rumah itu sambil tertawa.  Papi meninggal dan dikuburkan di kampung itu juga, disebelah Mami,” tutur Leo.
Ada kisah menarik sewaktu Leo bertemu dengan tokoh Batak, almarhum Olo Panggabean, yang juga sangat mencintai sosok Ibu.  Tokoh Batak legendaris itu pun menyatakan salutnya kepada Leo karena membangunkan rumah untuk Mami Papi.  Saat Leo dikenalkan pamannya dengan Olo di Hotel Borobudur Jakarta, dia mengenali Leo yang membangun rumah untuk Mami.
“Eh, Kau yang bikin rumah untuk Ibumu ya?” tanya Olo.  “Iya Paman,” jawab Leo.  “Bagus.  Bagus,” tutur Olo yang juga sangat mengagumi Ibunya.
Sepeninggal Mami, Papi agak terguncang.  Namun Leo tetap kagum kepada Papi walaupun tinggal sendirian di rumah, tetap menjaga keharmonisan dan kesehatan jiwa raganya.  Dua minggu sebelum meninggal, Papi seperti sudah punya firasat, bermimpi ada bunga banyak dikirim ke rumah Bataknya.  “Rupanya Papi akan meninggalkan kami semua,” kenang Leo.
Papi sakit tua dan kondisi kesehatannya semakin memburuk.  Papi sempat diopname, kondisi kesehatannya sempat pulih lagi.  Ketika Papi merasa badannya tidak enak, ternyata kondisinya sudah kritis.  Ketika kondisi Papi kritis di Rumah Sakit Elisabeth, Leo sedang bertugas mendampingi Ketua DPR RI, Agung Laksono di Thailand.  Sampai di Pukhet, esoknya Leo mendapat kabar Papi meninggal dunia.  Leo tetap tabah.  Agung meminta Leo agar pulang, tapi Leo menjawabnya “on schedule”, karena ada saur martua, kegiatan 7 hari untuk Papi.  Dua hari kemudian, Leo dan keluarga menyusul ke Medan. Sampai di Medan, ratusan bunga sudah ada di depan rumahnya.  Rupanya mimpi Papi kesampaian.
Belajar dan Melayani Hutasoit
Mengabdi dan melayani ternyata mengajarkan kebijaksanaan dalam hidup.  Semasa kuliah di IPB, Leo Nababan sempat ikut keluarga JH Hutasoit.  Sudah hal umum, jika ikut orang, mau tidak mau harus membantu dengan sepenuh tenaga dan hati di rumah yang ditumpangi.  Dalam tradisi Batak, Leo adalah raja di keluarga Hutasoit, karena ibu kandung JH Hutasoit adalah boru Nababan.  Namun, Leo tidak memakai itu karena baginya, bapak JH Hutasoit, mantan Menteri Muda Peternakan dan Perikanan di era Soeharto itu sudah dianggap sebagai ayah angkatnya.  Untuk itu dia tidak segan-segan bekerja sebagaimana layaknya orang yang menumpang di rumah orang lain.
Suatu pagi, sewaktu dia menyemir sepatu Pak Menteri, JH Hutasoit marah melihatnya.  Sambil berteriak, dia merampas sepatunya, “Jangan hula hula. Jangan hula hula.  Jangan rajaku.”  Pak Menteri kemudian memanggil para pembantu, agar jangan sampai Leo menyemir sepatunya lagi.  Tapi Leo tidak mau mengindahkan larangan itu, karena baginya bukan soal tradisi Batak, hula hula, tapi kewajiban dia, sebagai anak angkat di rumah itu.
Di tempat Hutasoit, Leo belajar berdiskusi soal negara secara langsung.  Ia belajar bergaul dengan pejabat negara.  Ada pengalaman khusus selama tinggal bersama Pak Menteri, ketika Leo sering diajak makan di restoran-restoran yang tidak pernah Ia lihat sebelumnya seperti makanan Jepang dan Chinese.  Pada mulanya, memegang sendok pun Leo gemetar.  Pengalaman itu sangat berharga terutama ketika Leo bertemu dengan orang-orang papan atas.  Ketika akhirnya Leo bergaul dengan orang-orang terpandang di republik seperti Agung Laksono dan lainnya, Leo pun tidak canggung lagi karena sudah terbiasa.
Bersama Hutasoit, Leo belajar hidup dan bergaul dengan kelas atas.  Bagi Leo, mengabdi di keluarga Hutasoit juga sebagai panggilannya.  Tentu Leo harus banyak belajar karena berbeda dengan kehidupannya di Medan, apalagi dengan kampung Sei Bambam.  Suatu ketika, Leo nebeng mobil Takala Hutasoit, anak JH Hutasoit, suami Maya Rumantir.  Takala yang menyetir mobil.  Leo masuk mobil dan duduk di belakang.  Takala marah dan menyuruhnya pindah ke depan.  Leo baru tahu kalau duduk di depan adalah sopir dan duduk dibelakang adalah bos.  “Maklum, orang kampung,” kenang Leo.
Bagi Leo Nababan, almarhum JH Hutasoit, mantan Menteri Muda itu adalah sosok yang santun, beradat dan berilmu tinggi.  Setelah menjadi Menteri, sempat menjadi anggota DPA.  Ia pernah juga menjabat sebagai Rektor IPB dan sangat dekat dengan Tuhan.  Kepadanya Leo belajar etika berpolitik.  Sikapnya yang rendah hati selalu memperhatikan orang kecil.  JH juga sangat mencintai danau Toba, suka menghabiskan waktu untuk berkeliling dan melukis.  Leo mendampinginya, membawakan tas dan peralatan melukis.
Kebiasaan Pak JH selalu bangun pagi, kemudian merokok sambil minum kopi.  Di dalam tasnya, selalu ada persediaan 5-6 bungkus rokok Bentoel sehari.  Ia jarang bicara tapi suka diskusi politik.  Setelah tidak menjadi Menteri pun, JH Hutasoit meminta Leo untuk mendampinginya, seperti ajudan.  Jadi Leo mendampingi 2 orang sekaligus, sang ayah dan sang anak.
Secara adat, Leo adalah raja karena JH lahir dari boru Nababan.  Dalam struktur Batak, JH memanggil Leo dengan sebutan “tulang”.  “Tulang, bagaimana kalau kita makan lapo,” ajak Pak Menteri.  Tapi sang anak, Takala justru marah besar.  “Leo, jangan Bapak kasih makanan itu,” ujarnya protes.
Tapi JH bilang, “Aku yang minta, bukan Leo.”
Leo dan Takala sering berdebat soal lapo.  Takala lupa bahwa ayahnya dibesarkan di kampung yang tentu selera makannya tidak jauh dengan lapo.  Kami sering ke lapo tetapi bapak tetap leo minta di mobil dan dia membungkus makanan.  Sampai di rumah baru dinikmati dan bapak mendengarkan seruling Batak.
Saat itu, perusahaan Takala dengan putra Pak Wardoyo Menteri Pertanian, Santo, yakni PT Interbuana sedang maju pesat.  Perusahaan tersebut mendominasi Crude Palm Oil (CPO) untuk ekspor ke luar negeri.  Karenanya, perusahaan pun mendapat untung sangat berlimpah.  Hampir setiap malam Takala dan Leo masuk ke diskotik.  Dan di situlah pertama kali Leo mengenal dunia malam.
Bahkan, bila pulang tengah malam, Takala yang hampir mabuk sambil nyetir mobil, Leo mendengarkan musik, lagu-lagu Batak di mobilnya.  Dan tanpa sadar Takala belajar berbahasa Batak.  Maklum, Ia lahir di tanah Sunda, Bogor, dan dibesarkan jauh dari tanah leluhurnya.  Dalam kondisi berlimpah, perilaku seringkali tidak terkendali.
Suatu ketika, putri tertua JH Hutasoit, Frida Hutasoit sakit kanker dan harus dirawat di RS Elisabeth, Singapura, Leo diminta mendampingi.  Inilah pengalaman pertama Leo ke luar negeri.  Karena tidak ada paspor, maka dibuatkanlah Leo paspor sekali jalan.  Sayangnya, penyakit itu tidak tersembuhkan hingga Frida meninggal dunia.  Di Singapura, Leo sangat terperanjat, ternyata ikatan persaudaraan orang Batak disana tidak ada duanya.
Saat itu adalah hari libur.  Jenazah disemayamkan satu malam di tempat persemayaman dan yang menjaga adalah Orang Batak yang ada disana.  Ternyata, banyak Orang Batak yang tinggal di negeri singa itu berdatangan.  Mereka memakai ulos Batak.  Orang Batak yang tinggal di wilayah itu saling bertukar kabar, diinformasikan oleh Pendeta Silitonga dari HKBP Orchad Road.  Begitu tinggi nilai tradisi Batak sampai jenazah dinyanyikan lagu rohani Batak.  Leo merasa seperti berada di kampungnya, bukan di Singapura.  Sejak saat itu, kecintaan Leo kepada budaya Batak semakin mendalam.
Itulah pengalaman indah pertama keluar negeri mendapat tugas berat mendampingi orang sakit dan harus ketika meninggal, harus mendampingi jenasahnya pulang.  Kepada keluarga Hutasoit, Leo belajar mengabdi dan melayani dengan sepenuh hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar