Sabtu, 21 September 2013

MAHASISWA PEJUANG PEJUANG MAHASISWA (3)


BAGIAN TIGA
BATAK: Berani, Agresif, Taat dan Adatnya Kuat
 Setiap bangun pagi, Leo bersama istri dan anak-anaknya senantiasa bersyukur memanjatkan doa.  Sebelum makan harus berdoa.  Demikian pula sebelum tidur.  Berdoa tidak boleh ditinggalkan.  Itulah tradisi yang selalu dipegang teguh oleh Leo beserta keluarganya.  “Tidak ada yang hebat dari Leo Nababan.  Semuanya berkat Tuhan.  Jika Tuhan mau, pasti terjadi,” ungkapnya.
The man is plan but God is true.  Manusia harus berusaha keras tapi Tuhanlah yang menentukan hasilnya.  Dengan mujizat, tidak ada hal yang mustahil di muka bumi.  Apa yang dikehendaki Tuhan pasti terlaksana.  Jangan sepelekan Tuhan.
Keberhasilan Leo tak lepas dari didikan dan teladan kedua orangtuanya yang selalu mengutamakan Tuhan di atas segalanya sebagai penganut Kristen Protestan yang taat.  Suku Batak Toba memang identik dengan Kristen sebagai bagian dari hidup sekaligus adat istiadat.  Keberanian, ketegaran, kejujuran dan keterbukaan menjadi ciri khas Orang Batak.  Leo tetap mempertahankan tradisi Batak dalam keluarga inti.  Ia mengajarkan anak-anaknya menggunakan bahasa Batak di rumah meski tinggal di Ibukota karena tradisi dan kearifan lokal makin tergerus dari hari ke hari.  Adat merupakan aset bangsa yang kian terdegradasi karena ditinggalkan.  Dalam hal-hal kecil, generasi sekarang saja mulai tidak peduli dengan menghormati orang yang lebih tua, padahal itu  tidak sulit dilakukan.
Sekarang banyak orang Batak kehilangan “kebatakannya.”  Banyak Orang Batak malu menjadi Batak.  Banyak Orang Batak kehilangan jati dirinya.  Padahal, suku Batak punya nilai, kontribusi dan sumbangsih besar terhadap peradaban.  Seharusnya terlahir menjadi Batak adalah sebuah kebanggaan tanpa harus memandang rendah suku bangsa yang lain.  Menjadi Batak merupakan kehormatan.  Meski tetap mempertahankan kuat primordialisme, namun nasionalisme kebangsaan tetap harus dijunjung tinggi karena keragaman merupakan pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Batak “kejawa-jawaan” dengan menghilangkan marga atau identitas kebatakan lainnya dengan alasan supaya diterima orang lain, justru salah.  Padahal dalam keragaman itulah kekayaan Indonesia diciptakan Tuhan sebagai berkah.  Tidak sedikit, para pendahulu dari suku Batak yang mengharumkan nusa dan bangsa tercinta.
Leo ingin membangun semangat kebangsaan yang pluralis diatas pondasi kebatakannya yang tulen.  Toh tidak ada yang salah dengan Batak di negeri ini.  Sikap dengan cara pandang kesukuan yang sempit digunakan dalam tindakan dan pengambilan kebijakan pemerintah, itulah yang tidak tepat.  Jati diri Leo ditunjukkan di ruang kerjanya di Jalan Medan Merdeka No. 3 dan di Jalan Anggrek Nelly Murni, Jakarta.  Di dinding ruangannya di kantor DPP Partai Golkar lantai 3, sebuah ulos Batak asli dipajang indah sebagai sebuah kebanggaan.  Pada sisi dinding yang lain, terpampang foto keluarga Ompui Ingwer Ludwijk Nommensen, yang mendapat gelar sebagai “Rasul Batak” dalam bingkai kaca yang indah.  Di ruang kerjanya di kompleks kantor Menkokesra, foto Nommensen pun juga menghiasi salah satu dinding.
Bagi Leo Nababan, Batak seharusnya merupakan manusia yang Berani, Agresif, Taat dan Adatnya Kuat.  Tetapi, berani harus didasarkan pada sikap rasional, bukan berani omong kosong semata atau berani asal-asalan, berani tubruk sana-tubruk sini.  Sebagai contoh, jati diri seorang politisi Batak harus memiliki integritas dan tanggung jawab moral bahwa dia merupakan turunan Ompu Raja Batak yang punya marga.  Politisi Batak harus berperilaku beradab, memperjuangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat umum dengan baik dan benar.
Pada pemilu legislatif 2009, caleg dari suku Batak menyebar di sejumlah provinsi, terutama untuk level DPR RI.  Di DKI Jakarta, caleg Batak juga banyak bertarung dalam pesta demokrasi, yakni mencapai 132 orang.  Angka ini tentu cukup tinggi dibandingkan dengan suku-suku lainnya di Ibu Kota.  Bagi Leo, seorang politisi Kristiani seperti dia harus memegang integritas dan jati diri.  Partai politik harus dijadikan sebagai alat perjuangan, bukan alat untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan tradisi, orang Batak memang akrab dengan hal-hal berbau politik karena didikan, kebiasaan dan praktik budaya sejak kecil.  Karena faktor kebiasaan dan budaya, orang Batak terlatih berdemokrasi, memiliki kemampuan menjadi pengacara, hakim, jaksa, politisi dan lainnya.  Di Indonesia secara umum, orang Batak merupakan salah satu etnis yang piawai berpolitik.
Kebiasaan orang Batak melakukan “teknik beracara dan berdemokrasi” pada tiap acara adat, pada pergantian tahun, lepas sidi di gereja dan berliturgi saat merayakan Natal, sudah terlatih dalam waktu yang lama.  Pada malam pergantian tahun, keluarga Batak melakukan syukuran, saling memaafkan dan melakukan evaluasi dan program ke depan.  Musyawarah kecil, menurut, Leo, juga membiasakan anak menyampaikan kritik sekaligus menerima nasehat.  “Pembibitan unggul” lainnya antara lain kegiatan adat seperti jambar hata(diberi kesempatan waktu berbicara), terutama bagi orang dewasa yang sudah menikah.  Kebiasaan ini merupakan dasar bagi Orang Batak untuk beradu argumentasi dan mempertajam wawasan menyusun strategi mempengaruhi serta untuk memperoleh dukungan dari orang lain.  Jadi, tidak mengherankan baginya, banyak politisi, pengacara hakim, jaksa, bahkan penyanyi tersohor lahir dari etnis Batak karena kegiatan-kegiatan tradisional tadi agama sejak kecil.
Selain itu, kegiatan adat seperti pernikahan, kematian, pada orang Batak Kristen, tradisi malua (lepas sidi) maupun mamio (undangan terhadap pengantin usai acara pernikahan) juga efektif membentuk kemampuan orang Batak dalam berkomunikasi.  Setelah lepas sidi di gereja, seluruh keluarga besar berkumpul, khususnya kerabat dekat.  Sesudah makan, masing-masing memberikan masukan dan nasihat kepada yang lepas sidi, yakni kaum muda atau remaja.  Pada acara penutup, si anak diberi waktu mangampu(menyampaikan balasan atas semua petuah).  Disini, si anak sudah dituntut kemampuannya untuk merangkum setiap nasehat, berkomunikasi dan menyampaikan pendapat.  Si anak mulai belajar menelaah nasihat-nasihat yang disampaikan.  Walaupun masih tergagap, ia sudah mampu mencerna serta menyampaikan rangkuman.  Ini merupakan salah satu langkah pembelajaran yang unik.  Ada pelatihan untuk mendengar, memilah serta merangkumnya.
Mental orang Kristen Batak berhadapan dengan audiens juga sudah terlatih sejak kecil.  Saat berliturgi pada perayaan Natal, anak-anak kecil dari usia balita hingga kanak-kanak tidak canggung berhadapan diantara kerumunan orang.  Walaupun sekadar menyampaikan hafalan ayat-ayat Kitab Suci dan dilakukan searah, secara psikis, bocah-bocah itu telah mengalami situasi mirip kampanye, berhadapan dengan ratusan massa.  Demikian berulang-ulang sampai Ia dewasa hingga Ia mampu melakukan komunikasi efektif.  Jadi, kemampuan beracara atau berpolitik dikalangan orang Batak, sudah dari sananya.  Kurangnya kerendahan hati dan kesediaan menerima orang lain seringkali menjadi kelemahan orang Batak.  Mereka tidak diajari mengalah sehingga seringkali maunya ingin menang sendiri.
 Iman dengan perbuatan
Beragama pada dasarnya adalah praktik.  Beriman tanpa perbuatan sama saja nol.  Beribadah memang penting, tapi praktik nilai-nilai universal sebagai esensi dari ibadah juga harus dilakukan terhadap sesama.  Harus ada keseimbangan antara relasi vertikal dengan Yang Maha Kuasa dan horizontal dengan sesama.  Selalu rendah hati kepada sesama dan dekat dengan Tuhan.
Tidak ada gunanya kita hidup kalau tidak bisa membantu sesama dan tidak memberikan manfaat kepada orang lain.  Uang Rp. 50 ribu bagi kalangan yang mampu tentu tidak berarti apa-apa, tapi bagi orang miskin, bisa untuk membeli beras untuk beberapa hari yang sangat berarti baginya.  Dalam tradisi Kristen ada perpuluhan atau semacam sodaqoh umat Islam.  Tidak ada orang yang jatuh miskin dengan membantu orang lain dan harus selalu berbagi, itulah prinsip Leo.  Dan ternyata itu justru membawa berkah melimpah yang tak terduga.
Pengalaman hidup merangkak dari bawah dengan segala pahit getirnya mengajari Leo untuk senantiasa peduli dan berbagi.  Ada hak fakir miskin dalam harta kita.  Dalam memberi dan berbagi, tidak dihitung seberapa besar jumlahnya tapi besarnya ketulusan hati.  “Janganlah menjadi pendengar Firman saja, tapi jadilah pelaku.  Kebanyakan ngomong Tuhan, Tuhan, Tuhan nanti jadi hantu,” ujar Leo.
Kekristenan tidak perlu ditutup-tutupi.  Sebagai anak Tuhan kita harus berani menunjukkan keyakinan kita tanpa takut.  Sikap toleransi dipraktekkan Leo dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam hal keberagamaan.  Meski putra asal Siborongborong ini jelas penganut Kristen tulen, tapi ia juga turut berkiprah di lingkungan tempat ia tinggal, membaur dan membantu umat Islam.  Terbukti, ia menjadi panitia pembangunan Masjid Jami al Mukminin di lingkungan rumahnya di kawasan Kayu Manis, Jakarta Timur.  Karakternya yang terbuka telah membentuknya menjadi seseorang yang selalu rendah hati dan rajin membantu.  Ia menjadi seseorang yang menaruh perhatian kepada lingkungan, peduli dan kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu menanggalkan sekat-sekat sosial, etnis dan agama.
Terlebih dengan tugasnya sebagai Staf Khusus Menkokesra, perhatian Leo terhadap kebijakan kemiskinan dan mereka yang marjinal makin besar.  Leo sempat kecewa dengan kinerja gereja yang dinilai lebih banyak ritualnya padahal harus banyak berbuat untuk membantu mereka yang miskin.  Memang, ritual penting dan diperlukan, tapi aplikasi iman Kristen juga penting.  Aplikasi iman dalam hidup harus diutamakan.  Tidak boleh membiarkan kemiskinan terus merajalela sementara hakekat iman Kristiani adalah membuat suatu hidup baru.
Kenapa harus membangun gereja megah tapi masyarakat sekitarnya melarat.  Firman Tuhan saja bilang, “Kalau kamu tidak berbuah, cabang-cabang itu akan dikumpulkan dan dibakar.” Statistik menunjukkan bahwa 55 persen kemiskinan sekarang ini berada di kantong-kantong Kristen harus menjadi keprihatinan bersama.  Di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mayoritas Katolik dan Protestan merupakan kantong kemiskinan terbesar di negeri ini.  “Sampai-sampai ada orang yang memplesetkan kalau NTT itu adalah singkatan “Nanti Tuhan Tolong,” kata Leo.  Gereja, menurut Leo, juga harus ikut berperan proaktif berlomba-lomba memberdayakan masyarakat sekitarnya, bertanggung jawab dengan tantangan untuk menuntaskan berbagai masalah.  Ajaran cinta kasih Kristus harus dibumikan, bukan sekadar menjadi ritual.  Identitas keimanan harus disandang, dimana pun berada.
Nommensen, Rasul Batak
Inger Ludwijk Nommensen memiliki peran penting terhadap suku Batak.  Bagi Leo Nababan, Nomensen tidak hanya menjadi idolanya.  Nommensen menjadi bagian spirit dalam hidup dan karirnya seperti terpampang rapi di dinding kantornya di Slipi dan Medan Merdeka, Jakarta.
Dalam tradisi Batak, saat lama tak berjumpa kawan atau famili, yang pertama ditanyakan adalah dimana anak-anak sekolah, bukan berapa Mercy-mu?  Pendidikan merupakan ajaran Nommensen yang sangat mempengaruhi suku Batak.  Gagasan mantan Menteri Pendidikan Nugroho Notosusanto bahkan ketinggalan 100 tahun dari tradisi Batak.  Dalam tradisi Batak, kurang lebih 200 tahun lalu, kewajiban sang Paman menyekolahkan keponakannya asal pintar. Jadi, “Istilah ayah angkat” dalam strategi Menteri Pendidikan saat itu, Nugroho Notosusanto telah berjalan dan berlangsung lama di Tanah Batak.  Hebat kan? Meski kesulitan finansial, tapi rata-rata penduduk lulusan SMA.  Bahkan mereka wajib menjual tanah untuk membiayai anak-anaknya sekolah.  Atau, sewaktu sekolah, tanah digadaikan untuk kebutuhan anak.
Setiap tahun hampir 50 doktor lulus dari Jerman.  Ini merupakan ikatan emosional antara tanah Batak dengan Nommensen.  Dalam hal pendidikan, mereka yang pintar atau keluarga yang mampu pasti juga membantu menyekolahkan sanak famili.  Anakhonhido Hamoraon di ah(anakku kekayaan bagiku), anak-anaklah anugerah tertinggi dan menyekolahkan mereka setinggi-tingginya merupakan keharusan.  Orangtua mengirimkan uang agar anak-anaknya dapat sekolah di parserahan (perantauan).  Di tanah Batak banyak dijumpai rumah–rumah kecil yang sederhana, tapi anak-anaknya sekolah di ITB, IPB, UGM, USU, UNDIP, bahkan Australia, Amerika atau Eropa.  Rumahnya reot tapi di leher Ibu-ibu terkalungkan emas.  Emas digunakan sebagai tabungan dan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak.  Hampir tiap kabupaten di tanah Batak memiliki sekolah unggulan. Bahkan sekolah Taruna Nusantara pun meniru.  Dalam hal ini, Leo Nababan salut dan angkat topi bagi seniornya Bapak TB Silalahi dan Bapak Luhut Panjaitan yang membangun kampung halamannya dengan sekolah unggulan di Balige, dan DEL di Laguboti.  Selain itu, kuburan-kuburan di tanah Batak juga bagus.  Bukan maksudnya untuk bermewah-mewah, kata Leo, tapi sebagai bentuk penghargaan kepada leluhur.  “Tapi agak lucu adalah biaya kuburan milyaran harganya tapi perumahan di sekitarnya reot dan kumuh.  Mungkin ada kesalahan di situasi demikian karena yang menonjol adalah kecongkakan (negatif) kira-kira menunjukkan bahwa keturunan dari ompung ini telah ada yang sukses di perantauan.  Memang susah juga memahami orang Batak ini, bah,” kata Leo Nababan sambil terkekeh-kekeh.
Dulu, nenek moyang orang Batak menyembah hantu. Dari animisme, agama kebudayaan perlahan-lahan berubah menjadi Kristen berkat para penginjil.  Awalnya pendeta dari Amerika masuk tanah Batak untuk menyampaikan ajaran Kristus.  Tapi mereka dibunuh sehingga pernah tersiar kabar, orang Batak makan orang.  Sekitar 30 tahun kemudian kemudian masuklah Nomensen yang mendalami kesehatan (pengobatan), pertanian (pembibitan) dan pendidikan. Pelan-pelan Nommensen masuk melalui kultur kebudayaan Batak.  Nenek moyang orang Batak suka menyanyi.  Nommensen membawa biola, piano, sehingga tradisi Batak menjadi makin meriah. Jika ke gereja, bisa dilihat bapak-bapak memakai jas dan dasi, sementara ibu-ibu mengenakan ulos, perpaduan antara tradisi Jerman dengan budaya setempat.
Kisah perjuangan Rasul Tanah Batak itu menjadi teladan tersendiri.  Dengan gelarnya Ompui Ingwer Ludwig Nommensen membangun tanah Batak khususnya Rura Silindung.  Tanpa kehadiran Ompui Nommensen, bisa jadi orang Batak masih hidup di zaman batu atau tertinggal.  Berkat Injil, kabar baik yang dibawa Nommensen, orang Batak bisa seperti sekarang ini.  Nommensen, tidak hanya membimbing orang Batak bagaimana harus hidup di hadapan Tuhan, tapi ia juga mendidik bagaimana hidup sehat dan berpengetahuan luas.  Karya Nommensen hingga kini bisa dirasakan khususnya di Sumatera Utara dan di Indonesia pada umumnya.
Nommensen memberikan banyak keteladanan.  Ia tidak mau mengganti nama dan identitasnya meski diberi gelar tertinggi menurut adat Batak.  Meski ia berkali-kali diancam untuk dibunuh dan dipersembahkan kepada berhala, Nommensen tetap berkarya dan hasilnya dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat Batak dari berbagai suku dan agama.  Dimana berdiri gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), disana ada sekolah HKBP dan Poliklinik HKBP, konsep itu dinamakan Pargodungan (pelayanan holistik), atau persemaian yang dalam bahasa Batak disebut parsamean.  Sekolah dan poliklinik inilah kemudian yang menjadi cikal bakal berdirinya Rumah Sakit HKBP di Balige, Sekolah Tinggi Teologia Nommensen di Pematang Siantar dan Universitas Nommensen di Medan.  “Seandainya Ompui tidak datang ke tanah Batak, mungkin saja orang Batak masih hidup dalam keterbelakangan,” tegas Leo.
Nommensen merupakan tokoh idola Leo sejak kecil.  Rasul Batak tersebut telah memberikan inspirasi baginya menapak kehidupan baik sebagai umat Kristiani maupun sebagai Orang Batak.  Nommensen merupakan misionaris RMG Jerman yang sangat berjasa melepaskan suku Batak Toba dari kegelapan, kebodohan dan kemiskinan.  Dalam tugas sucinya, Ia berjuang dan mengabdikan diri hingga akhir hayat.
“Masyarakat Batak bisa maju seperti sekarang tak lepas dari jasa dan keimanan Nommensen.  Ia membawa terang kehidupan rohani maupun jasmani bagi orang Batak. Saya termasuk hasil produk ‘terang’ dari Ompui,” tutur Leo.  Kekaguman Leo kepada sosok Nommensen melahirkan gagasan untuk memperjuangkan Nommensen sebagai Pahlawan Nasional.  Untuk menggugah kembali hati masyarakat Batak terhadap Nommensen, Leo pernah mencetak 250.000 poster Nommensen bersama keluarganya dan membagi-bagikannya kepada masyarakat Batak.  Ia sangat terharu menyaksikan ikatan masyarakat Batak terhadap Nommensen yang sangat kuat.  Bagaikan terbangun dari tidur.  Juga bersama Bunthora Situmorang cs mencetak kaset dan CD album Nommensen sebanyak 25 ribu buah dan dibagi-bagikan kepada masyarakat Batak di Dapil 2 Sumut.
Sejak Nommensen secara intens menekankan perlunya pendidikan di tanah Batak, dampaknya adalah perjuangan habis-habisan orangtua memberi pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.  Hasilnya, kualitas sumber daya manusia Orang Batak hingga sekarang diakui dan dikagumi orang lain.
Salah satu wujud penghargaan orang Batak Kristen kepada Nommensen adalah berdirinya Salib Kasih di Bukit Siatas Barita, Tarutung di kawasan Silindung, Tapanuli Utara.  Di tempat itu, Nommensen pertama kali menginjakkan kaki serta mengatakan nazarnya untuk menggembalakan suku Batak yang masih sangat tertutup dan terbelakang, kala itu.  Sekarang, tempat ini menjadi Ikon wisata rohani di Sumatera Utara. Di desa Sait Nihuta, Tarutung, juga dibangun patung Nommensen di pintu masuk Perkampungan Nommensen, tempat pertama bagi Nommensen melakukan misi sucinya, tepatnya di gereja HKBP Huta Dame.
Gelar Pahlawan Nasional  untuk Nommensen
Kemajuan pendidikan di tanah Batak sudah barang tentu atas peran utama zending. Barangkali kalimat ini juga akan mengandung pro dan kontra; yang pro menjebut setuju, bahwa kemajuan pendidikan di tanah Batak, khususya di Toba adalah peran dari pendidikan zending.
Bagi yang kontra akan menyebut bahwa pendidikan dipakai hanya sebagai alat untuk bisa memasuki tanah Batak. Tulisan ini bukan mengajak untuk memperdebatkan itu. Mau-tidak-mau kemajuan tanah Batak, kemajuan seumber daya manusia, tidak lepas dari didikan zending.
Awalnya orang Batak tidak merespon pendidikan yang dianggap kemajuan, itu dianggap bahaya terhadap keberlangsungan adat-istiadat yang sudah pakem. Tetapi nyatanya pendidikan itu kemudian membelahak mata mereka, bahwa pendidikan adalah yang terbaik mengubah kehidupan yang primitip.
Bicara kemajuan Batak sosok Ompui Dr I L Nommensen adalah sosok yang menjadi pelopor. Leo Nababan dengan mantap selalu mengatakan “Saya cucu Nommensen.” Walau bukan cucu biologis, tetapi ideologis, semangat pembaharu untuk tanah Batak.
Leo memang tidak penah malu, atau gentar jika sudah berkaitan dengan Ompui Dr I L Nommensen, selalu merindukan kelak Nommensen mendapat gelar pahlawan nasional. Kerinduannya itu bukan tanpa alasan. Karena bagi Leo Nommensen adalah sosok pembaharu untuk orang Batak. “Saya tidak bisa bayangkan kalau Nommensen tidak datang ke tanah Batak, entah masih apa kampung saya itu,” katanya suatu waktu.
Nommesen tatkala membawa perubahan, pendidikan itu tidak bertepuk sebelah tangan, orangtua Batak juga pun berespon dengan baik bahwa pendidikan adalah untuk pembaikan hidup yang lebih baik. Karena faktanya, bukan orang Batak Kristen saja yang telah didik di sekolah zending, garapan Nommensen.
Almarhum Raja Inal Siregar, mantan Gubernur Sumatera Utara, seorang Islam mendirikan Yayasan Parausorat Sigumpar (Pasopar) dalam pidatonya saat pemugaran makam Ompu i DR I L Nommensen. Raja Inal mengatakan, betapa besar pengorban Nommensen pada kemajuan Batak khususnya di pendidikan.
“Saya sebagai orang muslim adalah bekas didikan zending, sekolah yang dirintis Nommensen. Tanpa pendidikan sending barangkali saya belum bisa (gubernur) seperti sekarang ini. Karena itu, kita patut menghargai beliau. Nommensen sewajarnya dikasig gelar pahlawan nasional di bidang pendidikan.”
 Nommensen dan Murtatuli
Bagi Leo, orang yang sudah merasakan bagaimana dampak pendidikan yang Ingwer Lodewijk Nommensen, atau lebih dikenal dengan sebutan ompui Dr IL Nommensen. Nommensen yang lahir di Nortdstrand, Jerman pada 16 Februari 1834.
“Nommensen  amat miskin. Masa remajanya dia habiskan untuk menjadi tenaga upahan. Di sekolah Nommensen sering mendengar gurunya Callisen, selalu menceritakan tentang misionaris yang berjuang untuk membebaskan keterbelakangan, perbudakan pada anak-anak miskin,” cerita Leo. Satu waktu, dalam perjalanan tugas negara, Leo pun menyempatkan diri untuk hadir di kampung Nommensen.
Kekaguman Leo terhadap Nommensen bukan tanpa alasan. Nommensen melayani orang Batak lebih dari setengah abad, 54 tahun. Saat Nommensen meninggal pada 23 Mei 1918, gereja yang telah ia niatkan itu bertumbuh pesat. Dari 13 orang menjadi 180.000 orang anggota yang dibaptis. “Walau pun Nommensen telah tiada tapi karyanya tetap hidup. Dia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang masa,” ujar Leo.  Sampai saat ini ada 5,5 juta jemaat HKBP di seluruh dunia.
Kini, benih yang telah ditanam para missionaris telah bertumbuh. Sekolah yang dulunya hanya satu di Sipirok menjadi berjumlah 510 buah dengan mendidik 32.700 orang murid yang terdaftar. Demikian pula gereja yang dipimpin oleh 34 orang pendeta Batak yang ditahbiskan, 788 orang guru Injil dan 2.200 sintua, atau penatua.
Saya berharap, sudah saatnya gelar pahlawan nasional diberikan pada Nommensen. Maka, Leo ingin menyatukan pendapat mengajukan I L Nommensn sebagai pahlawan nasional (Nommensen menjadai ephorus pertama pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel Pada 6 Februari 1904, ketika Nommensen genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa). Karena beliaulah tanah Batak melek, melakukan perubahan yang sangat. Bagi saya Nomennsen adalah pahlawan sejati orang Batak.
“Kita menghendaki agar seluruh HKBP termasuk Pimpinan HKBP sungguh-sungguh memikirkan hal ini. Karena sosok Nommesen, saat ini, dibutuhkan pendeta yang berani dan rela menerima resiko seperti Nommensen. Karena bagi Leo Nababan sosok Nommensen tidak kalah dengan Douwes Dekker, orang Belanda, yang telah disematkan pahlawan Nasional. Dowes Dekker nama aslinya Eduard Douwes Dekker, alias Setia Budi. Dia lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun). Dia adalah penulis Belanda yang terkenal dengan nama Max Havelaar (1860).
Novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda. Dia orang Belanda yang berjuang untuk kemajuan pribumi. Karena perjuangannya, tahun 1961, dia dengan resmi diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Soekarno di bidang pendidikan.
Nah, bagi Leo, Ompu i DR I L Nommesen juga melakukan hal yang lebih sama dengan Murtatuli. I L Nommensen belum pernah diberikan perhatian oleh pemerintah Indonesia. Usulan itu, sebagaimana yang diamatkan Undang-Undang No 20 tahun 2009 tentang pemberian gelar pahlawan nasional, sudah diatur.
Ulos Batak di Nortdstrand       
“Anuijer Loedewiq Nommensen (1834-1918) Missionar der Batak,” demikian tulisan yang terpahat pada sebuah batu berukuran panjang 2 meter dengan tinggi 1 meter di desa Nortdstrand, Jerman.  Tak jauh dari batu pertanda itu, berdiri sebuah gereja, sebuah rumah kediaman pendeta, Sekolah Taman Kanak-Kanak, Poliklinik semacam Puskesmas dan perumahan penduduk.  Suasana desa yang asri mirip dengan situasi di Tarutung, Toba, Humbang dan Silindung, Tapanuli Utara.  Sejauh mata memandang, terdapat peternakan dan perkebunan yang luas -di Tapanuli dikenal dengan sebutan adaran.  Kondisi masyarakat demikianlah yang dijumpai Leo di tempat kelahiran Nommensen.
Cita-cita Leo Nababan untuk melihat asal usul sosok yang dikaguminya sejak kecil, Inwer Ludwig Nommensen telah tercapai.  Pada bulan 12 Juni 2010, di sela-sela kunjungannya mendampingi Menkokesra di Belanda dan Italia, Leo meluangkan waktu untuk singgah di Desa Nortdstrand, Jerman yang berada di perbatasan Jerman Barat dan Denmark.  Disana Leo didampingi Simatupang, Kepala Perwakilan Perdagangan Indonesia di Hamburg.  Butuh waktu sekitar dua setengah jam perjalanan darat menggunakan mobil dari kota pelabuhan Hamburg ke desa Nortdstrand.  Di kampung Nommensen, Leo diterima dengan ramah oleh Pendeta Weiss dan keluarga.  Batu pertanda Nommensen sebagai misionaris pertama dan berpengaruh bagi Orang Batak, terawat dengan baik dan rapi sampai sekarang.
Yang unik, menurut Leo, di semua rumah penduduk terdapat ulos Batak.  Semua penduduk bangga terhadap suku Batak dan menganggap Orang Batak sebagai saudara dan keturunan Nommensen.  Ini merupakan tanda kasih dan ikatan batin secara khusus antara Jerman dengan Batak.  Penghargaan warga Jerman terhadap Ompui Nommensen berarti juga penghargaan yang tinggi terhadap Orang Batak karena Nommensen diakui sebagai Apostel Batak.
Nortdstrand merupakan desa kecil yang terletak di wilayah Schleswig-Holstein Jerman–dulunya wilayah Denmark- adalah desa kelahiran Nommensen.  Oleh warga Batak khususnya jemaat HKBP, Nommensen mendapat gelar Ompui Apostel Ni Bangso Batak.  Beliau lahir dan dibesarkan di desa kecil ini yang merupakan tanah leluhurnya.  Di desa inilah Nommensen lahir pada 6 Februari 1834 yang kemudian meninggal dunia di Tanah Batak dan dimakamkan di desa Sigumpar –dulu masuk Kabupaten Tapanuli Utara- wilayah Toba Samosir, Sumatera Utara pada 23 Mei 1918.
Sepanjang hidupnya, Nommensen lebih banyak berbakti dan mengabdi di tanah Batak ketimbang di tanah leluhurnya.  Namun kiprahnya di negeri orang justru menjadi kebanggaan dan catatan tersendiri bagi warga desanya.  Kebanggaan itu diwujudkan antara lain dengan dibuktikan seluruh rumah tangga di desa Nortsdtrand untuk memiliki sehelai ulos Batak di rumah masing-masing secara turun-temurun.  Ulos Batak di setiap rumah di desa itu merupakan bentuk ikatan batin antara masyarakat Batak dan masyarakat penduduk desa Nortdstrand, tanah kelahiran Ompui Nommensen.  “Saya pikir hal ini sangat luar biasa dan mungkin tidak banyak orang Batak yang mengetahuinya,” tutur Leo.
Di tengah desa itu, di depan gereja yang disebut Gereja Nommensen, terdapat prasasti yang bertulis Nommensen sebagai misionaris Batak, Sumatera.  Prasasti ini mengingatkan jasa besar putra desa Nortdstrand yang membimbing satu suku besar dari pengikut animisme menjadi suku Batak yang terkenal kejeniusannya di Indonesia.  Batak bisa menjadi suku terkemuka berkat jasa besar Nommensen dalam mengembangkan pendidikan multi pengetahuan sehingga menjadikan Batak sebagai etnis yang terpandang dalam berbagai disiplin ilmu dan profesi.
Sebelum kedatangan Nommensen di tanah Batak pada 1860-an, sudah ada tokoh ilmuwan dan misionaris Eropa yang datang, namun semuanya gagal bertahan.  Bahkan dua misionaris asal Boston, Amerika Utara yakni Pendeta Munson dan Pendeta Henry Lyman harus mengalami peristiwa sadis tepatnya di desa Sisakkak Lobu Pining, Wilayah Silindung.  Peristiwa ini tersiar ke seluruh penjuru dunia, melalui berita misionaris asal Eropa dan Amerika, termasuk sampai di desa Nommensen.  Setelah peristiwa itu, tak seorangpun misionaris berani masuk ke tanah Batak, terutama wilayah Silindung.  Padahal banyak misionaris Eropa di wilayah Sumatera, bahkan sudah ada yang sampai di wilayah Mandailing namun mereka hanya fokus bekerja di wilayah tersebut.
Nommensen adalah satu-satunya misionaris yang berani masuk ke wilayah Silindung dengan resiko bertaruh nyawa.  Beliau datang ke Sumatera pada tahun 1861 langsung menuju kota pelabuhan Barus.  Disana Nommensen belajar bahasa, adat istiadat serta tradisi budaya Batak sebelum bertolak ke wilayah Silindung, menerobos aturan Belanda yang melarang misionaris ke wilayah yang dinilai sangat rawan dan berbahaya.  Berbekal keyakinan terhadap perlindungan Yesus Kristus, Nommensen mempertaruhkan nyawa mendekati wilayah Silindung dan mencoba bersahabat dengan masyarakatnya.  Nommensen tidak peduli dengan kisah sadis kematian Pendeta sebelumnya di wilayah tersebut.  Yang terngiang di benaknya adalah pesan Dr. Fabri, salah satu guru besarnya di sekolah Pendeta di Jerman yang menyarankan Nommensen supaya ke Silindung, wilayah yang disebut-sebut sangat rawan namun masyarakatnya dinilai sangat beradab karena memiliki tatanan budaya Dalihan Na Tolu yang berintikan dasar kesatuan dan kesejahteraan masyarakat Batak.
Nommensen tidak hanya ahli berkotbah, tapi juga ahli di bidang kesehatan, pertanian, peternakan dan lainnya.  Ia mengerahkan segala daya dan kemampuan untuk menyalakan pelita terang dengan mengalami segala mara bahaya.  Nommensen membimbing suku Batak yang dinilai memiliki otak jenius dan berbudaya luhur melihat dunia luar.  Ia membangun sekolah-sekolah dan menggalakkan semangat belajar, mengirim suku batak ke berbagai belahan negara di Eropa khususnya yang dinilai berpotensi tinggi untuk mampu meneruskan karya para misionaris.  Nommensen juga berjasa besar mendirikan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan tercatat sebagai Ephorus pertama, melahirkan sumber daya manusia canggih berpendidikan luar negeri pada saat SDM Indonesia masih rendah terkendala sengitnya perjuangan membela kemerdekaan tanah air, porak-poranda oleh penjajahan.  Orang Batak sudah banyak yang menjadi doktor pada saat putra putri di tanah air masih sulit untuk tamat sekolah dasar.
Jasa besar Nommensen, menurut Leo, tidak hanya menanamkan pedoman iman tapi juga mengarahkan masyarakat Batak akan pentingnya kemerdekaan, pentingnya negara yang berdaulat, dan bebas dari tekanan penjajahan.  Meski tidak sempat menyaksikan Indonesia merdeka, namun sejarah mencatat bahwa Nommensen telah melahirkan sumber daya manusia berbobot dari berbagai kalangan masyarakat Batak yang maju di garis depan barisan pejuang kemerdekaan.  “Tapi sadarkah masyarakat Batak dengan jasa-saja sang Apostel tersebut?” tukas Leo.
Jika masyarakat Batak sadar, menurut Leo, mestinya orang Batak yang mampu dari segi ekonomi akan lebih merindukan kunjungan ke desa Nortdstrand sebelum berkunjung ke tempat lain.  Bahkan sebelum ke tanah suci Betlehem, tanah kelahiran Yesus, mestinya orang Batak harus terlebih dulu ke desa kelahiran orang yang memperkenalkan Yesus.  Saat berkunjung ke tanah kelahiran Nommensen, Leo sangat terharu ketika disambut penduduk setempat sebagai cucu Nommensen.  “Saya sangat terharu sekaligus bangga disambut sebagai cucu Nommensen dan saya yakin siapapun Orang Batak yang berkunjung kesana akan diperlakukan sama seperti saya.  Anda tidak perlu susah payah memikirkan penginapan atau restoran tempat makan di desa itu, karena penduduk disana siap membuka pintu rumahnya bagi Anda dan akan menjamu Anda sebagaimana layaknya cucu orang tersohor di desa itu,” tuturnya.
Leo sangat prihatin mendengar cerita masyarakat desa itu, yang mengatakan sangat jarang Orang Batak berkunjung kesana.  Kalaupun ada, paling hanya beberapa pendeta HKBP.  Leo sangat terharu ketika Pendeta Weiss yang merupakan Pendeta di Gereja Nommensen di Nortdstrand, melayaninya seperti saudara sendiri.  Leo terharu dan sangat bangga telah menginjakkan kaki di desa Ompui Nommensen yang sangat dikaguminya sejak kecil.  Ia sangat puas karena sudah berdoa di Gereja Nommensen.  “Harapan saya, akan masih banyak orang Batak yang berkunjung ke desa itu, agar mereka tahu bahwa orang Batak tidak pernah melupakan sejarah yang ditorehkan oleh putra asal desa itu di tanah Batak,” kata Leo.
Ompui Nommensen anak pertama dan lelaki satu-satunya dari empat orang bersaudara.  Ayahnya Peter dan ibunya Anna adalah keluarga yang sangat miskin di desanya.
Pada tahun 1846 di usianya ke-12, Nommensen mengalami kecelakaan kereta kuda sepulang sekolah.  Setahun lamanya dia tidak dapat berjalan dan hampir diamputasi.  Saat itulah dia berjanji, jika kedua kakinya sembuh, maka ia akan melayani Tuhan sebagai misionaris.  Ajaibnya, setahun kemudian, kaki Nommensen sembuh total.  Tahun 1857, Nommensen masuk sekolah pendeta di RMB Barmen setelah menunggu sekian lama.  Oktober 1861, Nommensen ditahbiskan sebagai pendeta dan langsung diberangkatkan oleh Misi Barmen menjadi misionaris di tanah Batak.  Nommensen berangkat dari Amsterdam menuju pulau Sumatera dengan kapal Pertinal yang memakan waktu 142 hari.  Pada 14 Mei 1862, Nommensen mendarat di Barus, Tapanuli Tengah.  Disana ia belajar bahasa dan tradisi Batak.
Pada 16 Maret 1866 Nommensen diberkati menjadi suami-isteri dengan tunangannya Karoline di Sibolga.  Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pendeta Johansen yang dikirim Kongsi Barmen untuk membantu Nommensen di Silindung.  Pada 1873 Nommensen menciptakan Sikola Mardalan-dalan (sekolah dengan tempat tidak tetap). Jadi, guru yang datang ke kampung-kampung Batak mengajar, bukan murid yang datang ke sekolah, agar orang Batak bisa secepatnya menjadi guru.  Tiga tahun kemudian tepatnya tahun 1876, telah dibaptis 7.000 orang di Silindung.  Pada tahun itu pula, Nommensen selesai menerjemahkan Injil-Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba.
Setahun kemudian Nommensen dan Johansen mendirikan Sekolah Guru Zending di Pansurnapitu.  Kelak di desa ini Mami yang selalu dibanggakan Leo itu, dan Jenderal purnawirawan Maraden Panggabean, dilahirkan.  Tahun 1881, Kongsi Barmen menetapkan Nommensen tercatat sebagai Ephorus pertama HKBP, dengan gelar Ompui.  Pada tahun 1904, Fakultas Teologia Universitas Bonn, Jerman, menganugerahkan Doktor Honoris-Causa di bidang Teologi pada Nommensen.  Dalam pengukuhan tersebut, Ratu Wilhelmina dari Belanda ikut diundang sebagai tamu.
Hari Kamis, 23 Mei 1918, pukul 6 pagi, Nommensen menghembuskan nafas terakhir.  Ia dikubur di Sigumpar.  Puluhan ribu warga datang melayat untuk mengucapkan salam perpisahan.  “Ompui Nommensen senantiasa berada di hati kami, masyarakat Batak,” tutur Leo.
Meneguhkan Kembali Jati Diri Bangso Batak
Kerinduan Leo pada budaya Batak diteguhkan dengan semangatnya membimbing para kaum muda untuk senantiasa menjaga budayanya. Jangan sampai meninggalkan budaya, karena itu akar. Bak pohon, katanya, kalau akarnya tidak ada, tidak kuat maka pohon itu akan tumbang, Bagi Leo, itu terkait erat dalam menghargai budaya.
Bagi Leo, sejarah sudah mengajarkan, sebelum Kekristenan melawat Tanah Batak, para nenek moyang kita hidup dalam penganut Animisme dan Dinamisme dengan ritual penyembahan berhala hasipelebeguon (mistis). “Sungguh suatu kehidupan yang diliputi kegelapan ditambah sering terjadinya permusuhan antar kampung dalam rangka memperoleh status kehormatan hasangapon dan kekuasaan atas sumberdaya ekonomi khususnya tanah hamoraon. Konflik itu tak jarang mengandalkan kekuatan magis hadatuon yang kerap berakibat pada pembunuhan dan terjadi saling balas dendam secara turun-temurun,” tulisanya dalam satu artikelnya, yang diterbitkan majalah HKBP Menteng.
Menurut Leo, meskipun pada awal proses Kekristenan di Tanah Batak penuh dengan tantangan dan pergumulan, namun yang pasti bahwa Kekristenan telah membawa Tanah Batak menuju terang. Kita patut berterimakasih kepada para Penginjil dimana lewat tugas panggilan misionarisnya membebaskan Tanah Batak dari kegelapan. Adalah Ompui Nommensen sebagai Misionaris legendaris Tanah Batak, melalui panggilan hidupnya yang lahir pada tanggal 6 Februari 1834 di Nordstrand, Distrik Holstein, Jerman, menjalankan panggilan hidupnya sebagai Penginjil di Tanah Batak sampai Tuhan memanggilnya di Sigumpar Toba Samosir.
“Sebagai Misionaris pertama di Tanah Batak, metode dan pembawaan misi Ompui Nomensen di Tanah Batak lebih diterima oleh Orang Batak dibanding misionaris-misionaris sebelumnya. Terkait dengan hal ini, Leo mencoba menyimpulkan bahwa ada dua pendekatan yang diterapkan oleh Ompui dalam menjalankan misinya sehingga lebih cepat dipahami dan diterima oleh orang Batak waktu itu. Pertama, Ompui IL Nommensen menggunakan pendekatan humanis yakni upaya perbaikan taraf hidup orang Batak waktu itu.”
Ketika Leo berkunjung ke tanah kelahiran Nommensen di Nordstrand Jerman, betapa kagumnya dia, melihat model perkampungan di kampung halaman Ompui, yang memiliki prototype yang mirip dengan perkampungan Batak “Bona Pasogit”. Satu hal yang paling berkesan adalah model kompleks gedung gereja di Nordstrand yang memiliki areal, pekarangan untuk tempat becocok tanam, gedung sekolah, gedung pelayanan kesehatan dan areal untuk peternakan, katanya mengenang.
Leo melihat, bahwa model yang demikianlah yang ditransfer Ompui ke Tanah Batak. Misi-misi Kekristenan yang dijalankan Ompui di Tanah Batak tidak serta-merta hanya melakukan pewartaan Injil an sich, namun juga disertai dengan misi-misi Kemanusiaan. Hal ini dapat kita lihat dari pembagunan Gereja di Huta Dame dengan areal yang disediakan untuk aktivitas kemanusiaan atau yang dikenal dengan Pargodungan itu.
Pendapat Leo memang berdasarkan fakta, bahwa tempat bersekolah, bangunan sekolah-sekolah di areal Kompleks Gereja di Nordstrad telah mengispirasi Cendekia Jerman waktu itu yakni Hubber Alles yang mempropagandakan betapa ilmu pengetahuan yang diperoleh anak-anak di bangku sekolah berperan besar dalam membangun peradaban manusia Jerman yang waktu itu telah maju dan unggul di kawasan Eropa. Prinsip inilah yang kemudian hari disalah pahami yang memunculkan paham rasialisme Jerman khususnya di era Hitler berkuasa.
Sebagai orang yang demikian kagum dengan sosok Nommensen, Leo akan leluasa merangkai kata-kata, dan menjelaskan peranan Nommensen sebagai pelopor, pembaharu. Lagi-lagi dia cerita, soal proses yang dibuat Nommensen dan kawan-kawannya waktu itu. “Terlepas dari itu, kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang terdapat di Pargodungan Gereja sebagai buah karya penggembalaan Ompui Nommensen di Tanah Batak.” Menurut Leo, itu jugalah yang menginspirasi seniman besar Nahum Situmorang dalam menciptakan lagu monumentalnya “Anakhon hi do hamoraon di ahu.” Berkat upaya Ompui Nommensen yang menekankan pentingnya pendidikan dan membangun sekolah-sekolah di Pargodungan. Gereja membangkitkan Orang Batak dengan jerih payah untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Gereja dan Pargodungan memiliki fungsi yang teramat signifikan dalam membentuk Iman Kristen dan meningkatkan taraf hidup Suku Batak dimana Gereja menjadi sentral Revolusi Iman lewat persekutuan dan pewartaan Injil. Pargodungan menjadi sentral perubahan taraf hidup dimana disana terjadi aktivitas transfer pengetahuan lewat sekolah, pelayanan kesehatan, pembelajaran bercocok tanam dan beternak serta pengasahan keterampilan.
Bagi Leo, Ompui Nommesen, dalam pewartaan Injil di Tanah Batak adalah menggunakan pendekatan budaya, mempelajari kearifan loka. “Sebelum melakukan pewartaan Injil, Ompui mencoba memahami hakekat karakter, tradisi dan budaya Orang Batak waktu itu dengan terlebih dahulu mempelajari Bahasa Batak Toba,” kata Leo.
Model seperti ini, bagi Leo, kurang lebih hampir sama dengan penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa oleh para Wali Songo. Dalam konteks ini upaya pewartaan Injil yang dilakukan Ompuii tidak menimbulkan penghilangan atau penghapusan nilai-nilai budaya dan tradisi Batak namun yang cenderung terlihat adalah bahwa nilai-nilai Agama dan kebudayaan saling membutuhkan dimana prinsip ajaran ke-Kristen-an diinternalisasikan lewat tradisi dan budaya. Tentu dalam hal ini ada upaya yang dilakukan untuk perbaikan nilai-nilai Budaya Batak yang bertentangan dengan prinsip ke-Kristen-an.
“Begitulah cara Tuhan membawa orang Batak keluar dari kegelapan menuju terang lewat hambanya yang setia mewartakan Kerajaan Surgawi sampai ke ujung dunia.” Refleksi dari pengalam Nommensen membawa Leo pada pertanyaan. Apakah sesungguhnya Tanah Batak sudah menerima Injil keselamatan itu? Lalu, bagaimana kita menghubungkan Injil dan Budaya Batak ditengah gempuran budaya global saat ini? Kedua persoalan inilah yang menjadi pergumulan saya. Ini yang kerap memunculkan keresahan saya, katanya.
 Tradisi pertobatan
Leo Nababan dilahirkan dari marga Nababan, mendapat nomor ke-19.  Ini berarti Leo adalah generasi ke-19 dari ompung Leo Nababan, Borsak Mangatasi Nababan.  Dalam tradisi Nababan, setiap 13 Oktober merupakan hari penting dan bersejarah.  Pada tanggal itu, sebuah perhelatan digelar oleh komunitas keturunan Borsak Mangatasi Nababan di tanah kelahiran dan di seluruh dunia.  Partangiangan (doa pertobatan) tersebut merupakan agenda rutin marga Nababan di Kecamatan Siborongborong dan Pagaran diikuti keturunan dari bona pasogit maupun perantauan dan dimanapun berada.  Tradisi ini digelar sejak tahun 1955 sebagai bentuk pertobatan, ucapan syukur sekaligus upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.  Dan pada tahun 2009, Leo Nababan dibulang-bulangi (dinobatkan) menjadi “Anak Sipatujoloon”, anak yang dikedepankan dari puak marga Nababan.
Konon menurut kisah orang-orangtua, lebih dari lima dasawarsa silam, para tetua adat marga Nababan di sekitar dua kecamatan itu mencari sebab mengapa meski ajaran Kristen terus berkembang namun tidak adanya kemajuan diberbagai bidang lainnya terutama pendidikan dalam keluarga-keluarga Nababan dibanding marga lainnya.  Menurut cerita, suatu malam Ompung Sijabu-jabu bermimpi.  Dalam mimpi itu Yesus menyarankan agar diadakan “pertobatan” karena bila doa pertobatan tidak diadakan maka keturunan marga Nababan tidak akan pernah jadi ‘orang’.
Para tetua adat kemudian menyimpulkan, berdasarkan penelusuran seksama terhadap sejarah para pendahulunya, terjadi penyimpangan atau hal-hal duniawi yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen yang dianut.  Untuk itu, para tetua adat sepakat melakukan partangiangan (doa bersama) meminta pertolongan Tuhan.  Pertobatan massal, memohon berkat sekaligus ungkapan syukur kepada Tuhan dan disepakatilah di Siborongborong.
Rupanya Tuhan mengabulkan doa marga Nababan yang tulus di tahun 1955 tersebut.  Sejak partangiangan dilaksanakan, keturunan Borsak Mangatasi Nababan merasakan adanya perubahan dalam kehidupan mereka.  Bahkan terus berkembang dari generasi ke generasi.  Tidak hanya dibidang rohani tapi putra-putri marga Nababan juga maju pesat dibidang pendidikan, pekerjaan dan ekonomi.  Setiap 13 Oktober akhirnya turun temurun menjadi perhelatan untuk bersyukur, introspeksi agar merendahkan hati dan tidak sombong.  Keturunan Nababan baik anak, boru, bere dan ibebere berkumpul untuk mengingat bahwa sumber berkat adalah Tuhan.
Partangiangan ini merupakan momen untuk memacu kebangkitan bagi marga Nababan dimanapun berada,” kata Leo Nababan.  Leo juga berpesan 5 H yang harus menjadi pegangan orang Batak yakni 3, 4, 5: hamoraon, hagabeon danhasangapon.  Nomor 2 adalah hadameon, “Bagaimana Tuhan memberikan berkat dan keturunan jika tidak ada damai?” katanya.  Dan nomor 1 adalahhaporseaon.  “Andalkan Yesus dalam kehidupan,” tegas Leo.
Tradisi pertobatan ini tidak saja sebagai pengingat agar tidak melupakan Tuhan dan selalu mendekatkan diri pada-Nya.  Namun perhelatan tersebut juga menjadi momen kebersamaan bagi marga Nababan untuk selalu bergandengan tangan untuk terus maju, memberikan karya terbaik untuk bangsa dan suku Batak umumnya dan keluarga Nababan khususnya.
Membangun Tugu Yesus di Samosir
“Saya memiliki obsesi membangun tugu Yesus tertinggi di dunia di tengah Pulau Samosir dan Ompui I.L. Nommensen Nababan,” ujar Leo.  Membangun kampung halaman menurutnya, sama saja dengan membangun negeri tercinta, Indonesia Raya.  Danau Toba yang indah permai ini akan signifikan kemajuan wisatanya bila patung Yesus Kristus tertinggi di dunia diwujudkan.  Bila obsesi ini menjadi kenyataan maka negeri ini juga akan menjadi termashyur di seluruh dunia.  Tugu tersebut diyakini Leo akan menjadi impian masyarakat Batak saja tapi juga Eropa dan Amerika, karena kedua benua itu terkait erat dengan tokoh Nommensen yang sukses menyebarkan agama Kristen di tanah Batak yang dulu diselimuti kegelapan.
Sebagai salah satu putra terbaik orang Batak, Leo Nababan merasa berhutang untuk mendirikan dua monument berupa patung, yakni patung Tuhan Yesus Kristus yang memberkati di Pulau Samosir dan patung Rasul Tanah Batak Ompui Ingwer Ludwig Nommensen.  Kedua patung tersebut bukan untuk disembah, tapi sebagai tanda betapa baiknya Tuhan.  Dia mati diatas kayu salib, dikubur dan bangkit dari kematian, kemudian naik ke surga, menyediakan hidup yang kekal, dan mengutus Nommensen ke Rura Silindung member pencerahan kepada orang Batak setelah ditolak suku lain.
“Dana pembangunan monumen tersebut murni dari generasi muda Batak yang sudah diberkati Tuhan.  Kita tidak minta-minta bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah, tetapi murni dari orang Batak yang sudah merasakan kasih dan pertolongan Tuhan, juga berkat pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Nommensen,” ujar Leo.
Tujuan membangun tugu selain memperdalam keimanan di kalangan masyarakat Kristen sekaligus menjadi wisata rohani.  Kepeduliannya terhadap pariwisata membangkitkan semangat untuk membangun kepariwisataan Toba lebih besar.  Patung Yesus yang sudah ada sekarang ini dibangun di Sao Paolo, Brazil dan di Timor Leste.  Rencananya, patung itu akan berdiri di lanskap menghadap ke arah asal muasal suku Batak dengan kedua tangan memberkati.  Di bagian kaki, patung Nommensen dengan kedua belah tangannya menerima “berkat” itu.  Sementara di jajaran belakang Nommensen terdapat masing-masing marga atau profesi seperti petani, guru, polisi, tentara, politisi, dan lainnya, semua yang dilepaskan dari kegelapan.
“Saya yakin gagasan ini dapat dicapai dengan mengandalkan gerakan rakyat Batak.  Impian ini berangkat dari niat tulus untuk mengangkat dunia pariwisata kita di mata nasional maupun internasional,” tegasnya optimis.  Namun, yang menjadi kendala adalah begitu Leo dengungkan ide tersebut, banyak sekali yang menghubunginya untuk dijadikan penasihat dan pengurus panitia.  Bahkan sudah ada yang mengklaim idenya ini.  Sedangkan Leo Nababan ingin membangun patung ini tanpa nama yang mendirikan dan tanpa nama bagi penyumbang.  Apalagi nama pengurus.  Biarlah no name alias nn agar nama Tuhan Yesus yang besar, bukan nama pengurus atau penyumbang.  “Jangan kita ambil kemuliaan Tuhan,” tegas Leo Nababan.  “Semoga cita-cita ini terlaksana dengan segera dan saya mengikrarkan pada perayaan usiaku dan peluncuran buku Mahasiswa Pejuang dan Pejuang Mahasiswa, kutorehkan cita-cita mulia ini. Semoga Tuhan memberkati dan mendapat sokongan tokoh-tokoh Batak yang tulus ikhlas,” lanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar