Sabtu, 21 September 2013

MAHASISWA PEJUANG PEJUANG MAHASISWA (1)




BAGIAN SATU
L’amour N’est Pas Parce Que Mais Malgre
Cinta Itu Walaupun, Bukan Karena


Mengusir Jenderal
Dekade 80an.  Siang itu suasana hangat di kampus Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor IPB mewarnai diskusi para mahasiswa yang asyik membahas topik mengenai perunggasan Indonesia.  Namun celoteh para peserta diskusi mendadak terhenti ketika sebuah suara lantang mengumandang, ”…Saudara-saudara, jangan percaya dia, usir dia! Ini PPUI, dia Jenderal!”  Semua mata memandang ke arah sumber suara, yang ternyata berasal dari seorang peserta mahasiswa.  Mahasiswa berambut agak gondrong dan berlogat Batak tersebut menunjuk kepada pembicara yang tampil di depan.  Pembicara yang diusir itu adalah Ketua Umum Perhimpunan Perunggasan Indonesia atau PPUI, seorang pensiunan militer berpangkat bintang satu, yaitu Brigadir Jenderal Soedarto. Karuan saja para hadirin dibuat kaget oleh ulah pemuda itu.  Yang lebih mengagetkan dia melakukannya sambil naik ke atas meja!
(Foto LN masih mahasiswa dan rambut gondrong*)
Kejadian tersebut berlangsung saat Brigjen Soedarto selaku Ketua Umum PPUI mendapat giliran untuk berbicara.
Namun demikian, sang Jenderal tidak marah.  Dia malah tertarik dengan pemuda yang suara lantangnya mengatasi perawakannya yang kecil itu.  Meskipun begitu, tindakan tersebut saat itu tergolong nekad, di mana militer di bawah rezim orde baru begitu kuat.   Belakangan Brigjen Soedarto malah mengirim utusannya yang membawakan profil organisasi Kosgoro yang berisi Anggaran Rumah Tangga dan Pedoman Perjuangan Kosgoro, kepada mahasiswa yang kemudian diketahui bernama Leo Nababan.  Itulah awal Leo Nababan memasuki “dunia politik” dimana selain Ketua Umum PPUI, rupanya Brigjend Soedarto tokoh Kosgoro Pusat seperjuangan dengan Mas Isman, pendiri Kosgoro.  Akhirnya beberapa tahun kemudian, Leo Nababan di DPP Gema Kosgoro dan Mas Darto menjadi sahabat dan guru sejati bagi Leo Nababan.
Dosen Pun Menangis
Selang lebih dari dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2006, pemuda Leo Nababan yang tentunya sudah rampung menyelesaikan kesarjanaan dengan titel insinyur tersebut menjadi seorang politisi.  Leo Nababan selanjutnya ditugaskan kembali untuk menjadi mahasiswa.  Kali ini ia menjadi mahasiswa di Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhannas[1] untuk Kursus Reguler Angkatan (KRA) ke-39.
Pada sebuah sesi kuliah yang membahas tentang hubungan bilateral antara Indonesia-Malaysia, saat itu dosen yang bertugas mengajar adalah Duta Besar Malaysia.  Untuk  diketahui, dosen di Lemhannas terdiri dari sejumlah orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi baik karena disiplin ilmu, otoritas, empiris, maupun jabatannya, mulai dari Presiden, Ketua Lembaga Tinggi Negara, semua menteri, Duta Besar negara besar dan negara Asean.  Bila dengan Dubes, kuliah dilangsungkan dengan pengantar berbahasa Inggris berlangsung satu jam.  Satu jam berikutnya dipergunakan untuk diskusi.  Diskusi tersebut dimanfaat kan oleh Leo Nababan untuk menyampaikan pernyataan kepada sang Dosen.  Leo Nababan angkat tangan dan meminta izin menyampaikan dalam bahasa Indonesia.  “Pemaparan yang disampaikan tentang serumpunnya Malaysia dan Indonesia merupakan kebohongan!  Ungkapan serumpun itu tidak memperlihatkan kualitas hubungan yang sebenarnya antara Indonesia dan Malaysia”.  Tentu saja pernyataan Leo mengagetkan seluruh peserta diskusi.
“….Saya staf khusus Ketua DPR RI yang berkunjung ke KBRI, pusat TKI di Selangor, Kedah, Kedutaan kami di Malaysia bertolak belakang dengan yang Dubes paparkan.  Bapak Duta Besar tahu?  Setiap ada acara TV serumpun saya matikan.  Itu karena saya melihat penderitaan bangsa saya di Malaysia.  Bagaimana terhina dan terpojoknya mereka dilabeli dengan panggilan ’Indon’!  Untuk itu…, sebelumnya mohon sampaikan salam hormat saya kepada mantan PM Mahatir Muhammad dan PM Badawi dan sampaikan pesan ini.  Untuk itu saya tegaskan Bapak Duta Besar, jangan sampai politisi muda Indonesia Leo Nababan di Kerajaannya berpikir, ‘mengganyang Malaysia’ untuk kedua kalinya.  Terimakasih.  Selesai.”
Sebagai reaksi, sang Dubes menyampaikan permohonan maaf.  Sambil menitikkan air mata dia mengatakan, ”Saya bisa mengerti marahnya Tuan.  Nenek moyang saya juga dari Indonesia.”  Begitu bel menandai berakhirnya sesi tersebut, dilangsungkan prosesi hormat bendera.  Bendera Malaysia ditutup, dan sang dosen sempat menyalami Leo Nababan sebelum pergi ke luar kelas.
“Saudara!  Saudara seorang politisi, tapi jangan memakai forum di sini untuk agitasi.   Bagaimana pun bapak dosen adalah seorang duta besar, yang mewakili Perdana Menteri,” tegur seorang perwira pendamping berpangkat bintang satu, mengingatkan Leo Nababan.  Namun saat itu sekitar tujuh orang mahasiswa berpangkat Kolonel, di antaranya ada seorang perempuan, Farida Zed (dari Departemen ESDM) menyampaikan dukungan untuk Leo Nababan.
“Saya mohon maaf, kalau kenyamanan tuan-tuan dan puan-puan terganggu dengan cara saya menyampaikan pernyataan.  Namun demikian saya mengingatkan kita semua, saat memasuki Lemhannas, Gubernur Lemhannas menjelaskan bahwa akademi ini merupakan forum bebas.  Di mana letak salah saya?” papar Leo Nababan.  “Kalau saya bicara harga cabe di Siantar, baru salah.  Tapi untuk persoalan tadi, saya Leo Nababan tidak seincipun meminta maaf bagi bangsa Malaysia.  Untuk itu, kepada bapak Gubernur, Wakil Gubernur, dan seluruh Deputi di Lemhannas ini, izin saya mengundurkan diri!  Tidak ada gunanya. Biar saya berjuang di luar sana.  Bagi saya, dignity, kehormatan bangsa saya di atas segalanya!”  Leo melepas tanda jabatannya, bersiap mengambil tasnya, dan ketika hendak berdiri, terdengar dari pengeras suara ruangan, ”Saudara Leo Nababan, saudara tidak salah, pakai tanda jabatan, saudara tetap mahasiswa Lemhannas…”.  Ternyata itu suara Gubernur Lemhannas Prof. Dr. Muladi, S.H. yang memantau diskusi dari ruangannya.
Menurut Leo Nababan, menempuh pendidikan di Lemahanas itu membanggakan dan perlu.  Seyogyanya pemimpin-pemimpin negeri ini menempuh sekolah di Lemhannas termasuk anggota legislatif.  Karena tujuan lemhannas itu adalah berpikir komprehensif integral dalam bingkai NKRI.  Leo sendiri mengikuti kelas Lemhannas Kursus Reguler Angkatan (KRA) selama 9 bulan, dan tentu saja Leo Nababan mewakili partainya.  Pada saat kuliah, peserta seangkatan Leo sebanyak 90 orang, terdiri dari 51 orang dari TNI dan 39 sipil (birokrat 20  orang, sisanya pengusaha, partai, dan ormas).
Ada cerita lucu dan tidak akan pernah terlupakan dimana, pada saat pemilihan ketua senat di Lemhannas, sempat terjadi kebuntuan.  Leo kembali berinisiatif dan maju untuk memberi usulan.  Ini terjadi karena sudah dua jam tidak juga ada kemajuan dan ketua senat belum juga terpilih. Bagi Leo, dunia politik mengajarkannya bagaimana menyederhanakan persoalan, bukan mempersoalkan penyederhanaan.  Misalnya bagaimana mengatasi haus, ya minum.  Ya tentu harus ada airnya.  Yang pertama dilakukan adalah mendapatkan air, lalu minum.  Soal sakit perut, itu soal berikutnya.  Nah, rapat pun demikian.  Tidak akan selesai kalau tidak disederhanakan.  Dengan konsep seperti itu Leo Nababan mengusulkan, karena TNI/Polri mayoritas yakni 51 orang, maka ketua berasal dari TNI/Polri, dan wakilnya dari sipil, sebagai sekretaris kalau bisa dari parpol dan kalau bisa seorang perempuan, yang kebetulan memang ada peserta wanita,  serta bendahara yang berasal dari anggota Kadin, sedangkan staf ditentukan setelahnya.  Begitu diusulkan semua langsung setuju.   Belum selesai sampai di situ.  Pada saat palu hampir diketok, Leo Nababan kembali angkat tangan, “Saudara-Saudara, di struktur ada Dewan Penasehat Angkatan, maka saya usulkan agar setiap gatra memiliki wakil, dan mewakili partai politik, saya bersedia dipilih”.  Dan Leo Nababan pun terpilih menjadi salah satu Dewan Penasehat Angkatan.  Kawan-kawannya tidak ada yang protes, bahkan sambil terkekeh mereka mengatakan, “Dasar orang politik. Bisa aja.”
Peristiwa naik meja untuk mengusir seorang Jenderal dan protes pada sang Dubes Malaysia oleh Leo Nababan menggambarkan konsistensi seorang aktivis.  Seorang Leo Nababan dan para aktivis mahasiswa mana pun di dunia memiliki ciri khas yang sama, semangat yang menggebu-gebu, cinta tanah air dan energi yang meluap-luap.  Dalam yel-yel mahasiswa Perancis dalam peristiwa gerakan Mei 1968[2] yang memicu serentetan protes dan pemogokan umum yang menyebabkan kejatuhan pemerintahan De Gaulle di Perancis muncul yel-yel: Sous les pavés, la plage (di balik batu jalanan ada pantai) yang dapat diartikan, dengan membongkar kekuasaan kita akan menemukan kebebasan/kebahagiaan.  Dan ungkapan Cours camarade, le vieux monde est derrière toi (Larilah kawan, dunia yang kolot mengejarmu).
Sejarah mencatat serangkaian peristiwa politik yang mewarnai perjuangan negeri ini diukir oleh para intelektual muda atau para mahasiswa:
a)       1908.  Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeniging, dll.  Pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia.  Generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
b)       1928. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928.  Pada masa sebelumnya, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925. Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
c)       1945.  Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas.  Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
d)       1966.  Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru.  Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan ’66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.  Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Akbar Tanjung dari HMI, dll.  Angkatan ’66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara.  Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).  Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan ’66 pun mendapat ‘hadiah’ yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru.  Pada masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis, yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya, dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati, yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini, dia adalah Soe Hok Gie.
e)       1974. Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan, misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.  Protes terus berlanjut.  Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.  Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakkan isu “ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” di samping dua tuntutan lainnya: Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya.  Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
f)        1977-1978.  Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi di wilayah kampus.  Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing ke luar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal.  Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) di seluruh Indonesia.  Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil.  Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. 28 Oktober 1977, sekitar 8.000 anak muda menyemut di depan kampus ITB.  Mereka berikrar satu suara: Turunkan Suharto!  Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi.  Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram.
g)       1990. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus.  Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya, upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa di tahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987-1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi.  Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
h)       1998.  Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya ‘KKN’ (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukkan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya.  Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.  Mereka turut mengubah wajah Indonesia.
Pasca peristiwa pengusiran Ketua PPUI Brigjen Soedarto oleh Leo Nababan, dirinya sempat dicari-cari.  Saat itu Leo sempat merasa ketakutan juga dicari petinggi militer di saat militer begitu kuatnya.  Namun tidak dinyana utusan sang Jenderal, Rambe Kamaruzaman (Ketua Umum Gema Kosgoro) ternyata hanya memberikan profil Kosgoro yang berisi Anggaran Rumah Tangga dan Pedoman Perjuangan Kosgoro.  Sang Jenderal tidak marah.  Dia malah mencari Leo Nababan.  “Saya suka anak itu!”   Leo Nababan tidak diajak dialog atau komunikasi apa pun, ia hanya diminta membacanya.  Setelah membaca profil organisasi tersebut, Leo tertarik pada pedoman perjuangan kosgoro tentang pengabdian, kerakyatan, dan solidaritas.  “Rupanya saya dicari untuk direkrut, dan sejak itulah saya resmi masuk ke dunia politik,” papar Leo menjelaskan.

Masuk Politik Praktis
Keberanian Leo untuk mengekspresikan keinginannya berbuah keberuntungan. Dalam ungkapan Publius Terentius Afer, Fortune helps the brave.  Bahkan orator dan politisi terkemuka Romawi kuno Cicero mengungkapkan A man full of courage is also full of faith.
Dalam peristiwa di Lemhannas, sikap Leo Nababan lebih mengkristal lagi.  Baginya tidak ada kepura-puraan dalam mencintai dan menghormati tanah air.  Menurut Ambrose Redmoon, Courage is not the absence of fear, but rather the judgement that something else is more important than fear.  Dalam ungkapan Perancis, L’amour N’est Pas Parce Que Mais Malgre.  Cinta itu Walaupun, bukanKarena. Bagi Leo Nababan cinta kepada tanah air Indonesia merupakan syarat mutlak, condition sine qua non, bukan karena mengharap sesuatu dari Indonesia.  Jadi keberanian Leo dalam mengambil sikap saat mempertanyakan paparan kuliah Dubes Malaysia di Lemhannas, di tengah sorotan lebih dari 90 pasang mata peserta Lemhannas merupakan keberanian yang didasari kecintaan kepada tanah air.  Leo tidak lagi bersembunyi dalam tata cara diplomatik, dan kepura-puraan kesantunan tata krama yang menutupi persoalan sebenarnya, hubungan Indonesia–Malaysia yang tidak setara.  Di mana dibungkus dengan ungkapan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah bangsa serumpun.  Namun dalam hubungan sebenarnya dicederai oleh sikap angkuh rakyat Malaysia yang memandang rendah para pekerja TKI.  Dalam ungkapan Jawa keberanian Leo termasuk sedumuk bathuk, senyari bumi, ditoh-i pati:  Meski hanya disentuh muka, atau digeser batas kekuasaan selebar jari, akan dipertahankan dengan nyawa.  Maksudnya kehormatan dan harga diri adalah sesuatu yang sangat bernilai bahkan di atas segalanya.  Bukan keberanian kaduk wani kurang duga:keberanian yang berlebihan cenderung mengandung kekurangwaspadaan, atau keberanian wani angas: keberanian semu, yang ketika benar-benar diuji maka ketakutanlah yang datang.  Juga bukan keberanian wani silit wedi rai: hanya berani ketika menghadap pantat, tetapi takut ketika berhadapan muka;  Maksudnya keberanian yang diungkapkan ketika belum datang tantangan, sedangkan ketika harus berhadapan menjadi hilang nyali.  Dan tentu saja Leo tidak ingin menjadi jago kate, wanine ana kandhange: petarung lokal, yang hanya berani bertanding di tempat sendiri.
Di luar tujuan Lemhannas untuk berpikir komprehensif integral, maksud lainnya adalah untuk membangkitkan kembali rasa cinta kita pada negara.  Para seniman suara dan musik menciptakan INDONESIA TANAH AIRKU, INDONESIA TANAH AIR BETA, hingga GEBYAR-GEBYAR; untuk mengingatkan agar cinta kita pada Indonesia semakin membara.  Itu semua adalah demi menjunjung kesatuan dan persatuan bangsa: Cinta Indonesia.
Dan, walau berbagai pergolakan ekonomi, politik, sosial budaya, hingga perkara-perkara kriminal; yang kadang menggetarkan jiwa, mewarnai negeri ini  yang semoga di waktu yang akan datang semakin membaik, Leo Nababan tetap cinta Indonesia.
Kita cinta Indonesia, WALAUPUN para penguasa negerinya suka berebut tempat untuk duduk mereka.
Kita cinta Indonesia,  WALAUPUN  rakyat kecilnya sering tidak kebagian rezeki.
Kita cinta Indonesia, WALAUPUN sebagian rakyatnya terserak di berbagai negeri menjadi TKI.
Kita cinta Indonesia, tanpa syarat; karena cinta itu WALAUPUN, bukan  KARENA.

Pendiri Gema Kosgoro Bogor
Setelah mempelajari profil Kosgoro[3] Leo pun terlibat aktif dan ikut mendirikan Gerakan Mahasiswa (Gema) Kosgoro di Kotamadya Bogor.  Saat itu Leo terpilih sebagai sekretaris, sedangkan ketuanya Takala Gerald Manumpak Hutasoit putra mendiang Prof. Dr. Ir. J. H. Hutasoit, mantan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan dalam Kabinet Pembangunan IV.   Waktu itu Jhonny Allen Marbun, yang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi Demokrat juga termasuk pendiri, bersama Ir. Aditya Kusumanegara (Dedi) yang pernah menjadi Dirut Antam.
Mengawal Putri Presiden
Setahun kemudian, Leo Nababan kembali dipanggil aparat.  Namun kali ini rupanya diberi tugas untuk mengamankan Siti Hutami Endang Adiningsih, putri Presiden Soeharto yang lebih dikenal dengan panggilan Mamiek yang akan berkuliah di IPB.  Sebelumnya Leo diminta menghadap pengurus kampus Dr. Pallawaruka yang berpesan agar acara penggojlokkan boleh berlangsung, tetapi dalam koridor batas yang aman.  Hal ini dilakukan karena sebelumnya ada preseden buruk yang menimpa putri Mendikbud Daoed Yusuf dan Yanti Poniman, putri Menhankam/Pangab saat itu.   Kedua putri pejabat tinggi negara tersebut digojlok habis saat opspek, karena saat itu Daoed Yusuf anti NKK/BKK.  Jadi wajar kalau muncul kekhawatiran bahwa kejadian tersebut bisa menimpa putri Soeharto tersebut.  Oleh karena itu Leo Nababan diminta untuk mengawalnya.  Leo Nababan ditempatkan di kelompok satu di mana Mamiek ada di kelompok itu.
Mamiek sendiri tidak tahu menahu semua ‘pengawalan’ itu.  Dalam sesi penggojlokan Leo mengatakan kalau dirinya tidak mengenal para calon mahasiswa tersebut dan meminta mereka mengikuti seluruh rangkaian acara penggojlokkan.  Tidak terjadi hal-hal ‘sadis’ yang memberatkan peserta, dan kegiatan banyak diisi dengan permainan, termasuk di antaranya permainan memasukkan pensil yang diikat di pinggang ke dalam botol.  Selesailah tugas Leo mengawal putri Presiden sampai acara rampung.  Dalam peristiwa perploncoan tersebut kita dapat menarik nilai pada era Soeharto sistem diatur sesuai aturan tanpa merusak tatanan yang berlaku.
Mamiek sendiri lulus lebih dulu dari Leo Nababan, ini karena Leo tidak meneruskan pendidikannya di IPB.  Namun demikian Leo sempat mengirim kartu ucapan selamat saat Mamiek wisuda.  Mamiek sendiri hingga kini memanggil Leo dengan sebutan senior.  Pada saat di Kosgoro Bogor, Leo Nababan meminta Mamiek aktif sebagai bendahara, dan ikut bergiat di Kosgoro atas izin ayahnya.  Saat itu sekitar tahun 1983-1984.
“Saat masa kepengurusan Rambe Kamaruzaman selesai, diadakan Mubes Gema Kosgoro dan itu adalah kongres Gema Kosgoro terhebat, karena dihadiri Menteri Pertahanan Keamanan, Menteri Penerangan dan Ketua Golkar Harmoko, bahkan mendapat sumbangan cukup besar dari Yayasan milik Pak Harto atas rekomendasi Mamiek,” papar Leo Nababan.

Tidak Aji Mumpung
Meskipun memiliki kedekatan dengan Mamiek, Leo Nababan tidak memanfaatkan hubungan baik tersebut untuk KKN.  Padahal saat itu ada peluang bagi Leo untuk masuk DPR, dimana bukan rahasia umum sistem saat itu harus mendapat restu dari Cendana.
Setelah berhenti dari IPB Bogor, Leo kemudian pindah ke Universitas Diponegoro Semarang.  Di Semarang Leo kembali bergiat sebagai aktivis.  Di sana Leo menjadi Wakil Ketua Gema Kosgoro Provinsi Jawa Tengah, selain itu Leo juga merangkap sebagai pengurus KNPI Jawa Tengah.  Leo Nababan sendiri berasal dari unsur mahasiswa.  Saat itu Leo bersama Ahmad Muqowam, sedangkan ketuanya adalah Cahyo Kumolo yang saat ini dikenal sebagai tokoh PDIP.  Selanjutnya Ketua Gema Kosgoro dilanjutkan oleh Iwan Hidayat (alm) ketika itu, karena Cahyo terpilih menjadi Sekjen DPP KNPI di era Ketua Umum Didiet Haryadi.
Karir politik Leo terus berlanjut dan menjadi Sekjen DPP Gema Kosgoro se-Indonesia, saat pelaksanaan Munas berlangsung di Palembang, sedangkan yang menjadi Ketua Umumnya adalah Zainuddin Amali, yang saat ini menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR RI.
Organisasi  
Masuk dunia politik menarik, karena disana bisa menertibkan pikiran, mengorganisasi pikiran dan menerapkan pikiran.  Leo Nababan
Bagi Leo Nababan, seorang organisatoris itu harus mampu mengorganisir otaknya lebih dulu.  Tidak boleh seorang organisatoris hidupnya amburadul.  Sebab seorang organisatoris harus mampu menata diri sendiri.  Bagaimana mungkin bisa menata orang lain, sedangkan untuk menata diri sendiri saja tidak bisa?
Bisa mengorganisir diri dan pikiran itu utama. Kalau seseorang mampu mengorganisir pikirannya, maka ia akan mampu berpikir positif, bersikap santun dan menerima kelebihan orang lain.  Bisa menerima kemenangan sendiri tanpa jumawa, atau menyombongkan diri sendiri.  Semua itu bisa didapatkan dari prinsip-prinsip organisasi.  Seorang yang berpikir tertib mampu menerima kekalahan.  Sikap ini harus diajarkan sejak kecil dan menjadi budaya, di mana mampu menerima kekalahan dan tidak sombong saat menerima keberhasilan.
Menurut Leo banyak organisator hidupnya terlunta-lunta, akibat tidak bisa mengorganisir diri.   “Ini yang membedakan ‘tentara gila’ dengan ‘gila tentara’.  ‘Tentara gila’ ada rumah sakitnya, sedangkan ‘gila tentara’ cukup puas dengan hanya memakai atribut tentara, pakaian loreng-loreng, dan seterusnya,” jelas Leo.
Karir politik Leo Nababan dijalani melalui proses tanpa harus ngotot dengan menetapkan jabatan sebagai target sasaran.  Bagi Leo dirinya terus aktif berjuang, sementara apapun hasil yang diperolehnya disyukurinya sebagai sesuatu yang mengalir saja.
Akhirnya, pada masa lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, Leo Nababan justru masuk menjadi anggota MPR menggantikan ‘Dai Sejuta Umat’ Zainuddin MZ dan anggota Majelis (MPR) saat itu adalah karir tertinggi di politik.  Bagi Leo Nababan, bermanfaat bagi orang lain lebih penting ketimbang persoalan jabatan.  Leo teringat prinsip Soekarno yang selalu berdoa agar hidupnya menjadi hidup yang bermanfaat bagi orang lain.

AMPI
Pada Musyawarah Nasional Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) masa kepemimpinan Agus Gumiwang Kartasasmita, Leo terpilih menjadi salah satu ketua dan juga salah satu Ketua DPP yang membidang OKK bersama Fahri Andi Laluasa.
Pasca lengsernya Soeharto, AMPI mengalami ‘koma’, mati suri, mati segan hidup tak mau.  Ormas dan Orpol Golkar mengalami degradasi.  Hampir selama 7 tahun Leo menjadi ketua OKK.  Kalau dihitung, 12 tahun lamanya Leo berkiprah di AMPI.
Leo juga mencatat sejarah penting saat itu.  Sewaktu akan melaksanakan Munas di Pasuruan, Jawa Timur terjadi sedikit friksi di kalangan elitnya. Saat itu ada ‘ketidakkompakkan’ antara Agus Gumiwang Kartasasmita dan Akbar Tanjung.  Waktu itu Ketua Umum AMPI Agus Gumiwang Kartasasmita tidak mau melaksanakan Munas walau sudah berakhir beberapa tahun masa kepemimpinannya.  Oleh karena itu Leo Nababan mengambil alih pelaksanaan dan dialah yang menandatangani surat undangan.
Dalam pembukaan Munas, Akbar Tanjung sempat memberikan sambutan dan menyebut keberadaan Leo Nababan sebagai Ketua Umum 3 hari dan sebagai Ketua Pelaksana Munas.  Sementara Sekjen AMPI Ferry Mursidan Baldan menolak hadir bersama Ketua Umum Agus Gumiwang Kartasasmita.  Dari hasil Munas tersebut muncul Fahri Andi Laluasa sebagai Ketua Umum AMPI.  Sebenarnya waktu itu selain terpilih sebagai sekretaris tim formatur, Leo juga dicalonkan sebagai Sekjen.  Namun faktor dirinya yang ‘minoritas’, mengganjal Leo Nababan duduk sebagai Sekjen AMPI.  Namun demikian Leo bersyukur menjadi salah seorang yang penyelamat organisasi.  Bila saat itu Munas tidak dilaksanakan, maka cerita AMPI mungkin sudah punah alias tidak ada lagi.  Syukurlah, AMPI saat ini sudah berkembang kembali di bawah kepemimpinan Dave Laksono.
AMPG
Pada masa Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung tersandung kasus Bulog Gate sempat terjadi gejolak internal di Golkar.  Hal itu muncul saat AMPI dibawah komando Agus Gumiwang Kartasasmita menolak membela secara membabi buta kepentingan pribadi Ketua Umum Golkar.  Prinsip AMPI adalah membela partai bukan membela secara personal, apalagi tercium itu untuk kepentingan sesaat.  Menyikapi penolakan AMPI dibentuklah Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG).  Leo Nababan waktu itu menolak pembentukan AMPG.  Leo menganggap tidak boleh ada dua matahari organisasi kepemudaan di Golkar.  Sampai saat ini hubungan AMPI dan AMPG kurang harmonis.  AMPG secara legal formal bersandar pada UU Parpol, sedangkan AMPI berlindung kepada UU Keormasan tahun 1985.
Eksekutif Perusahaan
Saya tidak tahu akan diberi hidup oleh Tuhan sampai umur berapa. Tetapi permohonanku kepada-Nya ialah, supaya hidupku itu hidup yang manfaat.  Manfaat bagi tanah air dan bangsa, manfaat bagi sesama manusia.  Permohonanku ini saya panjatkan pada tiap-tiap sembahyang. Sebab, dia asal segala asal, Dialah “Purwaning Dumadi” Soekarno 6/6/’57.
Posisi apa pun sama mulia di mata Tuhan.  Leo bertutur, yang paling penting dalam hidupnya adalah bimbingan dan berkat Tuhan.  Semuanya mengalir begitu saja.  Leo Nababan pernah menjadi kepala cabang Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) Sulawesi Utara, padahal latar belakang disiplin ilmunya adalah peternakan.  Setelah itu Leo sempat menjadi kepada divisi, bahkan Direktur Humas Adam Air.  Kalau dipikir secara sehat, bagaimana mungkin Sarjana Peternakan menjadi direksi sebuah airlines?
Dinamisnya mobilitas karir Leo Nababan tidak lantas membuatnya setengah-setengah dalam bekerja.  Seperti saat menjabat direktur Humas Adam Air,  Leo mengharuskan dirinya belajar.  Leo Nababn memborong semua buku yang membahas pesawat dan membacanya.  Tidak hanya itu, Leo pun berbaur dengan seluruh staf dan karyawan Adam Air.  Kalau kebetulan tengah menumpang pesawat Adam Air, Leo senantiasa menjalin komunikasi, menyapa kru atau berbicara dengan pilot dan copilot.  Semua itu dilakukan Leo agar dia bisa ‘nyambung’ dengan mereka.  Begitulah warna-warni kehidupan Leo Nababan.

Menjaminkan Cincin dan Jam Tangan  Demi Organisasi
Dalam sebuah kesempatan seputar tahun 1990-an, tepatnya pada waktu diadakan program Kemah Bakti Wisata Nusantara, Leo Nababan terpilih sebagai ketua panitia pelaksana.  Saat itu Leo sendiri sedang menjabat sebagai salah seorang Ketua DPP Gema Kosgoro.  Kemah Bakti Wisata Nusantara merupakan program gerakan mahasiswa mengisi libur dengan melakukan kegiatan berupa pengabdian masyarakat.  Kegiatan Leo ditempatkan di desa Tanjung Beringin Sumatera Barat, tepatnya Kabupaten Pesisir Selatan, yang berbatasan dengan Bengkulu.  Dalam acara itu, Gerakan Mahasiswa Kosgoro se-Indonesia datang.  Sebelum berangkat mereka sadar kurang uang.  Bersyukur kebutuhan makan dibantu Korem Sumbar.  Saat itu mereka betul-betul kekurangan dana karena bantuan dari Departemen Sosial dan Yayasan Soeharto belum turun.  Dalam sebuah pertemuan Leo Nababan berhadapan dengan Pimpinan Pusat Kosgoro, Mas Soeprapto dan Mas HR Agung Laksono, Ketua Umum dan Sekjen Kosgoro.
Ketua Umum menantang, “Kita butuh Rp 15 juta lagi, bagaimana ini?” Spontan Leo melepaskan cincin dan jam tangannya sebagai jaminan.  Saat itu terlihat Agung Laksono menatapnya.  Apakah Agung Laksono menganggapnya main-main, atau merasa geli, karena apa artinya cincin dan jam mahasiswa?  Atau barangkali justru terkesan dengan tindakan spontan Leo.  Entahlah.  Yang jelas setelah itu terjalin sebuah hubungan yang menjadikan Agung Laksono sebagai mentornya.
Leo mengakui Agung Laksono sebagai mentor shortcut-nya.  “Saya bertemu dengan orang hebat.  Saya bersyukur pada Tuhan”.   Agung Laksono merupakan politisi yang mumpuni dan beruntung.  Permulaan perkenalannya terjadi di Kosgoro.  Waktu itu nama Agung Laksono sudah ‘besar’.  Dia pernah Ketua Umum AMPI, Ketua Umum HIPMI, anggota DPR, Sekjen organisasi induk Kosgoro.  Sedangkan ketua umumnya Soeprapto, mantan Gubernur Bengkulu.
Acara Kemah Bakti Wisata Nusantara sendiri berlangsung sukses.  Ratusan mahasiswa Kosgoro bahu-membahu membuat jalan sepanjang 3.5 kilometer, dengan dibantu kepala Pekerjaan Umum Sumatera Barat, mengejat masjid, dan pembuatan MCK (mandi cuci kakus).  Di situ Leo dengan semangat nasionalisme yang menggebu meminta sekelompok mahasiswa dari NTT, Sulawesi Utara serta Papua untuk memperbaiki dan mengecat masjid.  Tujuannya agar terasah sikap untuk bertoleransi.  Leo Nababan mengenang, untuk menuju lokasi mereka menumpang pesawat Hercules, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menumpang truk tentara selama 6 (enam) jam karena berbatasan dengan daerah Bengkulu.  Jadi selama seminggu mereka benar-benar memfokuskan pengabdian.  Dan kegiatan tersebut makin mengasah jiwa nasionalismenya.
Belajar dari Agung Laksono
Agung Laksono secara resmi mengajak Leo bergabung dengannya saat Leo kembali dari tugas BPPC Manado.  Saat itu Leo sudah bisa disebut sangat mapan secara materil.  Sepulang dari Manado Leo bertemu Agung Laksono, di situlah Leo diajak untuk bergabung.  Leo bersedia, tapi tidak mau digaji bulanan.  Sejak itulah dia mengikuti Agung Laksono dalam aktivitas politik juga bisnis.  Sepanjang itulah Leo belajar banyak terutama soal disiplin.  Bagi Leo disiplin adalah kunci hidup.  Leo selalu tepat waktu, dan tidak pernah membiarkan Agung Laksono menunggunya.
Leo mengenang peristiwa terpilihnya Agung Laksono menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.  Saat itu Leo tengah bersama Agung Laksono di sebuah ruangan di lantai 8 gedung MPR RI.  Terdengar dering suara telepon, “Di sini Pak Harto”.  “Siap Pak,” jawab Agung Laksono.  Agung Laksono tampak bersikap seolah-olah Soeharto berada di depannya.  Dia menunduk-nunduk dengan hormatnya.  Betapa kuat wibawa dan pengaruh Pak Harto.  Usai telepon, saya berbincang dengan Pak Agung, bahwa Pak Harto kan tidak hadir di ruangan, kenapa bapak bersikap begitu hormat?  Merekapun tertawa. Selama 3 bulan Leo Nababan menjadi Staf Menteri Pemuda dan Olahraga Agung Laksono.  Begitu Soeharto lengser, BJ Habibie terpilih sebagai penggantinya, dan kembali Agung Laksono terpilih menjadi Menpora.  Jadi Agung Laksono terpilih dua kali menjadi Menpora RI dalam kabinet yang berbeda.
Masa Penantian
Politik memang memiliki dinamika yang tinggi.  Tidak seluruh perjalanannya selalu sesuai dengan keinginan dan rencana para pelakunya.  Begitu juga dengan Agung Laksono dan Leo Nababan.  Hal ini terjadi saat naiknya Gus Dur dan Megawati sebagai presiden.  Pada masa inilah Agung Laksono dan Leo Nababan praktis berhenti di pemerintahan.  Status Agung Laksono masih sebagai anggota MPR dari Sulawesi Tenggara.  Kemudian Agung Laksono masuk kembali ke DPR dan terpilih menjadi Ketua DPR, dan Leo Nababan menjadi staf khusus.  Dalam pemilihan Ketua DPR kala itu, diadakan seleksi internal Golkar melalui voting yang diadakan sampai pagi di JCC Hilton.   Agung Laksono mendapat suara tertinggi 47 suara jauh di atas Mahadi Sinambela, Bomer Pasaribu, dan Marwah Daud Ibrahim.  “Pak Agung terpilih melalui pemungutan suara yang fair.  Tidak seperti gosip yang beredar, karena dimenangkan oleh Akbar Tanjung,” tandas Leo Nababan.  Bila Akbar Tanjung saat itu menunjuk Agung Laksono tanpa voting maka gosip bisa dibenarkan.  Tapi kenyataannya berbeda.

Kosgoro Pecah
Memasuki masa reformasi, Kosgoro pecah.  Kosgoro independen berlayar di bawah pimpinan Hayono Isman.  Leo Nababan sendiri bernaung kepada Kosgoro yang dinakhodai Agung Laksono yang tetap setia pada cita-cita awal terbentuknya pada 1957 yang memberikan aspirasi politik di Golkar.  Dalam pandangan Leo, yang menang sesungguhnya adalah Agung Laksono, dan secara legal dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung.
Waktu itu di kantor Golkar, Agung Laksono melemparkan pertanyaan pada Leo Nababan, ”Gimana…(apa mau) kita ganti?”   Leo dengan mantap menyambut tantangan tersebut dan bersemangat untuk terus membina kekuatan kader. Praktis sebagai kawan dekatnya, Leo setia mendampingi Agung Laksono yang memutuskan mendirikan Kosgoro 1957.  Awalnya, Agung Laksono sempat ragu dengan pembentukan organisasi tersebut, mengingat Thomas Manurung (alm.) mengusulkan agar fifty-fifty saja dengan kubu Hayono Isman.  Namun, dengan tekad Kosgoro harus sesuai dengan cita-cita pendiriannya, maka lahirlah Kosgoro 1957.  “Pendiri Kosgoro adalah ayah biologis Hayono Isman.  Tapi sesungguhnya kami adalah anak ideologisnya. Namun, pembentukan Kosgoro 1957 didukung oleh Rambe Kamaruzaman, Syamsul Bahri, Setya Novanto, Hayani Isman, Mascyum Sofyan, Azhar Romli, John Harro, Fahri Andi, Zainudin Amali, H. Zainudin MH (Oding), Silalahi (alm.) dan lainnya.

Membuat Lambang Kosgoro 1957
Suatu sore di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar, Agung Laksono memanggil Leo Nababan ke ruangannya dan memerintahkan untuk membuat logo Kosgoro 1957.  Leo beranjak ke ruang di seberang ruang Agung Laksono yang ditempati Aulia Rachman.  Dan kelak, ruangan itu menjadi ruangannya selaku Wakil Sekjen Golkar.   Di ruangan itu Leo mencari inspirasi guna membuat lambang Kosgoro 1957.  Agung Laksono menyetujuinya dan meminta  Leo Nababan memaparkan di depan kawan-kawan antara lain almarhum Silalahi dan Toto Mulyanto.  Toto kemudian mengusulkan agar angka tahun 1957 diletakkan di bawah gambar pohon.   Namun belakangan, Toto mengklaim bahwa ia juga ikut serta membuat lambang Kosgoro 1957.  Tentu Leo Nababan menolak.  Inilah yang menjadi pangkal belum disyahkannya lambang tersebut sampai saat ini.  Bagi Leo masalah hak kreatif itu merupakan masalah integritas.  Jadi dengan tegas Leo mengatakan bahwa dirinya sang kreator logo Kosgoro 1957.  Namun Leo Nababan yakin suatu saat lambang ini pasti diakui ciptaannya karena tidak mungkin tiba-tiba jadi, jatuh dari langit bukan?
Arti lambang:
-          Segi lima melambangkan Pancasila, dan segi lima ini yang tetap setia aspirasinya di Partai Golkar.
-          Warna kuning tetap setia di Golongan Karya.
Hayono Isman sendiri pada akhirnya menyeberang ke Partai Demokrat.  Menyadari hal ini banyak anggota Kosgoro di bawah pimpinan Hayono Isman akhirnya bergabung kembali ke Kosgoro 1957.
Kosgoro 1957 kemudian dideklarasikan di Hotel Ciputra, maka sejak itu lambang tersebut dipakai secara resmi, dan Agung Laksono terpilih sebagai pimpinannya.  Untuk menyukseskan acara munas, dengan semangat menggebu Leo Nababan mengerahkan masa dan membawanya dalam sejumlah bis.  Tapi Leo lupa mengingatkan mereka agar jangan memakai sandal karena acaranya berlangsung di hotel berbintang.   Peristiwa itu kini menjadi kenangan indah Leo Nababan. “Acara sukses, syukur Alhamdulillah,” ungkap Leo mengekpresikan kegembiraannya.  Saat ini di Trikarya, yang terkuat adalah Kosgoro 1957.  Anggotanya  ada yang menjadi menteri, gubernur aktif, juga bupati, belum lagi anggota DPR.  Jadi sejarah Kosgoro terbilang cukup panjang.  Dan yang membanggakan Leo adalah bahwa dirinya termasuk orang yang setia terhadap Kosgoro yang tetap di Golkar.  Jadi, konsistensi hidup adalah kunci keberhasilan, tandas Leo Nababan.  Kompetisi dan perjuangan boleh berjalan, namun pertemanan tetap berlanjut.  Leo sejauh ini tetap berteman baik dengan Hayono Isman.  Soal pilihan politik berbeda, itu hal biasa.  Bagi Leo, pelajaran ini dipetik dari cerita Soekarno dengan Jenderal Soedirman berseberangan di mana Soekarno menggunakan cara diplomasi dan Soedirman menggunakan cara perang.  Namun, perbedaan bukan memutus tali silaturahmi di antara keduanya.
Dalam soal hubungan baik ini Leo menjadikannya sebagai sikap hidup.  Bukan hanya dengan Hayono Isman, Leo juga pernah memiliki pengalaman menarik lainnya.  Kali ini dengan adik kandungnya Hayono Isman yakni Maulana Isman.
Kisah tersebut berlangsung pada masa pemilihan ketua Umum KNPI.  Pada waktu itu, Maulana Isman mencalonkan diri sebagai Ketua Umum KNPI untuk periode 1996-1999.  Namun, saat pembacaan pandangan umum di mana Leo Nababan tampil, Leo menegaskan bahwa Gema Kosgoro tidak mendukung pencalonan Maulana Isman.  Kejadian tersebut menjadi headline sejumlah koran sore bahwa Gema Kosgoro tidak mendukung ketua umumnya.  Sebenarnya sebelum terjadi peristiwa tersebut, Leo dan Zainuddin Amali menghadap Menpora Hayono Isman.  Walaupun Hayono Isman kakak kandung Maulana Isman, namun Hayono tidak mendukungnya.  Itulah yang dipegang Leo dan Zainuddin Amali.
Leo menduga, tidak didukungnya Maulana Isman oleh Hayono Isman sendiri, disebabkan kesibukannya yang seringkali membuat Maulana Isman tidak bisa menghadiri acara-acara penting.  Dan, benar saja, di masa kepemimpinan Maulana Isman, KNPI memasuki masa kelamnya.  Bahkan pada saat kongres KNPI, sejarah mencatat, bahwa kongres tersebut tidak dihadiri ketua umumnya sendiri yaitu Maulana Isman.
Namun secara pribadi hubungan Leo dan Maulana Isman tetaplah baik.  Suatu saat acara pernikahan putra Maulana Isman, Donny Isman.  Leo tidak diundang, tapi Leo tetap datang.  Leo memeluk Maulana Isman dan berbisik, ”Kau tidak undang saya, tapi saya tetap datang. Kita boleh beda pendapat, tapi kita tetap bersaudara.” Mereka berpelukan.  Dan hal ini membanggakan Leo, bahwa seharusnya politisi bisa bersikap seperti itu.  Pandangan politik berbeda tetapi pertemanan tidak boleh putus.  Leo Nababan termasuk ‘orang yang dititipi’ untuk membina Donny Isman yang menurut Leo adalah politisi muda berbakat.
Meminta Akbar Tanjung Mundur
Kelugasan Leo Nababan dalam bersikap seringkali membuat posisinya terpojok.  Kali ini misalnya saat Leo meminta Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung mundur karena saat itu dia tersandung kasus Bulog Gate.  Tindakan ini memancing kemarahan sejumlah pihak diantaranya Rambe Kamaruzaman, “Ketua AMPI kok ngomong begitu?”  Menyadari sulitnya keadaan, Leo sempat mengingatkan sang istri untuk tidak terlalu berharap pada waktu ikut serta dalam calon legislatif dari  daerah pemilihan 1 Sumut.  Dan memang benar, Leo hanya memperoleh nomor urut 8 dan ia tidak terpilih.
Meskipun cukup beresiko, namun Leo yakin tindakannya itu berdasarkan niat untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar, dan juga tentu saja menyangkut integritas dirinya.  Jadi Leo siap menanggung segala resikonya.  Akbar Tanjung sendiri bebas dari kasus hukumnya sesuai keputusan Mahkamah Agung.  Leo menghormati putusan itu.  Hubungan mereka tetap baik selalu senior dan junior.

Menolak Tawaran dari Partai Demokrat
Sebenarnya, dalam situasi terjepit seperti itu datang tawaran dari pendiri Partai Demokrat Ventje Rumangkang untuk bergabung dengan partainya dan memperoleh nomor urut ke-1.  Leo sempat menyampaikan tawaran tersebut kepada mentornya Agung Laksono.  Agung Laksono sendiri mengembalikan pilihan tersebut kepada Leo, kalau mau terpilih menjadi caleg, ya silahkan bergabung dengan Demokrat.  Mendapat restu seperti itu justru membuat Leo urung mengambil tawaran Partai Demokrat.  Karena sebelumnya Leo sempat berdoa di rumah sebelum bertanya kepada Agung Laksono, dan akan mengambil sikap berkebalikan dari usulan mentornya itu.   Leo yakin intuisinya merupakan petunjuk Tuhan bahwa Leo harus konsisten dan tetap setia kepada Golkar.
Leo menyadari betapa tidak populer tindakan dirinya dalam mengkritisi pimpinan partainya, apalagi sang tokoh yang menjadi sasaran kritiknya adalah seorang pahlawan penyelamat partai, di mana pada waktu itu Golkar berada pada titik nadir terbawahnya.  Leo bukannya tidak menyadari bahwa Akbar Tanjung merupakan seorang politisi piawai dengan segudang pengalaman yang teruji dan prestasi akademik yang terbukti.  Namun bagi Leo obyektivitas dan kebenaran harus dikedepankan, dan tentu saja Leo melakukannya karena dia memandang harus ada orang yang memiliki jarak dengan partai agar bisa memberi penilaian obyektif.  Dan orang itu adalah dirinya.
Leo berprinsip langkahnya tersebut merupakan bagian dari sikapnya dalam berpolitik dengan berkarakter, berintregritas dengan tujuan untuk kemajuan.  Bukan asal bapak senang ABS atau hanya sekedar ikut arus. Leo pribadi memiliki kesan tersendiri dengan penampilan Akbar Tanjung yang santun namun tegas.  Berani mengambil tindakan dan ‘dingin’.  Oleh karena itu tindakan Leo yang bagi kebanyakan orang dilihat sebagai perilaku yang tidak umum.  Sebenarnya Leo mendasarkan itu pada sikap setianya terhadap partai,  yang justru sesuai dengan sikap umum partai, menjunjung Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan tidak Tercela atau PDLT.
Leo sendiri sudah mempersiapkan agar dirinya menjadi murid terbaik Agung Laksono. Sebagai seorang mentor dan guru yang baik tentu Agung Laksono menginginkan agar Leo sebagai muridnya mampu mengikuti teladan dan langkah dirinya yaitu agar Leo juga mandiri dan memiliki sikap dan langkah politik yang berwawasan, disiplin, dan harus dicapai dengan kesungguhan dan kerja keras. Keikutsertaannya dalam sekolah di Lemhannas merupakan salah satu langkahnya untuk menuju kemandirian.
Hubungan Leo dengan Agung Laksono bukan sebuah hubungan yang pasif.  Tidak sedikit Leo berbeda pendapat dengan Agung Laksono.  Leo selalu menyampaikan usulan dan pandangannya, walaupun keputusan akhir tetap di tangan Agung Laksono selaku pimpinan.  Meskipun begitu Leo bertekad akan terus menjadi pengingat dan pengkritisi Agung Laksono.  Bagi Leo membiarkan Agung Laksono sebagai pimpinan tanpa mengkritisinya justru berbahaya bagi kepemimpinannya.  Banyak pemimpin Indonesia jatuh karena tidak mau lagi dikritik.  Banyak orang rela meninggalkan kawan-kawan lamanya karena kawan baru lebih pandai menjilat.  “Kalau hal itu terjadi, tinggal menghitung hari saja, cepat atau lambat pemimpin itu akan jatuh,” ujar Leo.
Leo Nababan sendiri berupaya proporsional dalam menempatkan diri dengan Agung Laksono selaku pimpinan.  Leo Nababan mengilustrasikan bahwa dia memiliki kesepakatan dengan Agung Laksono untuk mengatur mekanisme kritik yang sehat.  Misalnya Leo memandang langit biru, namun pimpinan melihatnya mendung maka ia akan mengatakannya biru.  Batas Leo untuk mengatakan langit biru jatahnya sampai 3 kali.  Kalau pimpinan masih melihat langit mendung sampai 4 kali baru Leo yakin bahwa hal tersebut sudah menjadi keputusan pimpinan.

Posisi Golkar
Dalam hal menyikapi sebuah isu, Leo menjelaskan kalau Partai Golkar lebih mengedepankan jalan keluar yang paling realistis.  Golkar tidak berpegang kepada sikap menang atau kalah.  Karena kalau hal itu yang dijadikan pegangan, tentu akan ada korban.  Seperti bagaimana Golkar bisa dikatakan lolos dalam isu kenaikan BBM beberapa waktu lalu.  Itu karena Golkar memiliki pertimbangan untuk tidak ekstrim memihak pemerintah atau memihak mahasiswa yang berdemo, tapi mengambil jalan tengah yang paling memungkinkan.  Itu dilakukan karena Golkar tidak mau sampai muncul gerakan revolusi yang tidak terkendali dan dikhawatirkan akan mengakibatkan jatuhnya korban.  Di sinilah Golkar datang sebagai katup penyelamat.  Jadi bersikap toleran adalah hal yang paling realistis.
Saat Golkar surut di masa reformasi, maka Golkar terus bertahan dan berusaha. Insan Golkar menyadari mereka sedang mengalami pasang surut. Begitulah politik, ada masa kalah ada masa menang.  Kalau dalam ajaran Islam, jabatan dan kekuasaan itu amanah.  Setiap saat bisa lepas.  Itu prinsip yang diyakini pula oleh Leo Nababan, “di bawah kita sabar, di atas kita wajar” paparnya.
Golkar saat ini berbeda dengan masa lalu, paradigmanya berbeda.  Leo menilai, sekarang kualitas personal di Golkar di atas rata-rata.  Setidaknya, dari 100 lulusan yang berasal dari partai politik di Lemhannas, tiga perempatnya dari Golkar.

Seiring Dalam Bisnis
Selain di politik Leo juga setia mengikuti Agung Laksono di bidang bisnis.  Antara lain di Adam Air misalnya.  Sikap kritis Leo bukan hanya di bidang politik juga dalam mengelola bisnis.  Masukan-masukan senantiasa dia sampaikan dan diskusikan dengan Agung Laksono.  Mulai dari pengelolaan tiket sampai rekrutmen dan pendidikan kru.  Karena seringnya berbeda pendapat dengan pihak pemilik, akhirnya Leo memutuskan keluar dari Adam Air sebelum peristiwa jatuhnya pesawat Adam Air.  Leo Nababan juga menilai, pemilik hanya memanfaatkan nama Agung Laksono dan hanya digunakan sebagai tameng.  Agung Laksono akhirnya membenarkan penilai Leo tersebut, karena ternyata belakangan terbukti ia hanya diberi saham kosong.  Begitulah salah satu contoh kejujuran dan kesetiaan Leo Nababan kepada mentornya itu.
Keberadaan Leo Nababan di samping Agung Laksono dinilai banyak orang bagai sekeping mata uang.  Leo menganggap dirinya adalah pengkritik Agung Laksono sekaligus pendukung utama.  Tanpa Agung Laksono karir politik Leo Nababan tidak mungkin cemerlang, begitu pun sebaliknya Agung Laksono senantiasa memprioritaskan Leo Nababan sebagai ‘orangnya’.  Sempat terjadi masa vakum kebersamaan Leo Nababan dengan Agung Laksono selama enam bulan, seiring ‘angin’ politik yang sedang menjauh.  Namun, Leo kembali dipanggil Agung Laksono saat ia duduk di DPR.
Dalam berpolitik setiap orang memiliki prinsip masing-masing.  Tentu saja nilai agama, dan sejumlah faktor lainnya turut berpengaruh.  Termasuk tentu saja didikan orangtua.  Leo sendiri merasa bahwa didikan orangtua, terutama ayahnya soal kesetiaan merupakan sesuatu yang utama.  Bagi Leo kesetiaan adalah segala-galanya.  Setia pada keluarga, setia kepada pekerjaan, setia kepada partai dan setia kepada pimpinan atau bigbos.
Sampai saat ini Agung Laksono tidak pernah menganggap Leo Nababan sebagai anak buahnya, tapi Leo sendiri menganggap Agung Laksono sebagai bos-nya.  Bahwa kalau ada pernyataan yang terkesan mendua itu harus bisa dibedakan.  Misalnya saat Leo mendukung Aburizal Bakrie sebagai presiden, itu karena ia menilai Agung Laksono setia kepada pimpinan, kepada Akbar Tanjung dia loyal, kepada Jusuf Kalla dia loyal, begitu pula kepada Aburizal Bakrie.  Leo Nababan mengaku diajari oleh Agung Laksono untuk loyal dan ikut keputusan partai, kecuali Tuhan berkehendak lain.
Bagi Leo Nababan, Agung Laksono merupakan buku hidup.  Darinya Leo banyak belajar.  Kalau ada persoalan bagaimana meminimalisirnya.  Meskipun demikian tidak mungkin tidak ada persoalan.  Banyak hal yang berbeda.  Tapi Agung Laksono bisa memaklumi.  Kalau Leo tidak datang selama beberapa hari, Agung Laksono tahu, bahwa itu merupakan tanda protes Leo Nababan.
Masalah perbedaan itu biasanya hanya karena kecenderungan setiap orang berbeda dalam menyikapi sebuah persoalan.  Misalnya berbeda dalam memilih orang, saat Agung Laksono memilih si A dan Leo memilih si B, maka muncullah perbedaan dalam pilihan.  Namun Leo tidak mau ngotot-ngototan untuk hal-hal seperti itu.  Leo mengilustrasikan ada orang yang sedih sampai dua minggu karena kucing kesayangannya mati, tapi orang lainnya bisa sedih sampai dua tahun.  Kedua-duanya penyayang kucing.  Namun berbeda dalam menyikapi permasalahan yang dihadapinya.  Jadi menurut Leo soal perbedaan juga lebih kepada soal hati.
Leo Nababan sangat menghormati perbedaan.  Karena perbedaan memberikan banyak hal yang sangat luar biasa baginya.  Ia menyontohkan perkawinannya.  Istrinya seorang Manado-Katolik sedangkan ia sendiri Batak-Kristen.  “Dia menerima komuni, saya tidak.  Dan saya hargai itu,” tandas Leo.
Leo Nababan meyakini, seorang pemimpin idealnya merintis dari bawah, bukan karbitan.  Seperti halnya militer dan birokrasi menjalani karir organisasi dari bawah.  Sehingga ada penghayatan dengan karirnya.  Bagaimana mungkin bisa menentukan tarif bis misalnya, kalau tidak pernah naik bis?  Menurut Leo Nababan pemimpin  Indonesia ke depan hendaknya tidak mempersoalkan lagi masalah etnis Jawa atau luar Jawa.  Sekarang sudah bukan zamannya lagi.  Negara demokrasi tidak mempersoalkan mayoritas-minoritas, sipil-militer, yang terpenting adalah kader bangsa yang terbaik. Oleh karena itu harus ada penguatan nilai-nilai demokrasi melalui jalur pendidikan, jalur ekonomi, jalur budaya dan sistem yang lebih baik lagi.
Tentang mekanisme penentuan calon terpilih, Leo Nababan menginginkan sistem tertutup dan seleksi pertama dilakukan di internal partai.  Hal ini untuk mengurangi money politic.  Kalau sistem terbuka, kecenderungannya yang menang adalah yang berduit.
Menurut Leo Nababan, sistem suara terbanyak bisa diterapkan jika tingkat pendidikan masyarakat rata-rata SMA dan tingkat pendapatan masyarakat sudah di atas US$ 10.000 per tahun.  Dan kenyataan ini dapat terlihat pada Pilkada DKI beberapa waktu lalu.  Di mana pasangan Jokowi-Ahok tidak terpengaruh dengan isu SARA.  Karena syarat demokrasi ideal penduduk Jakarta sudah relatif terpenuhi.
Sistem terbuka akan menggiring orang untuk korupsi.  Bahkan ada beberapa daerah saat ini, karena begitu ketatnya pengawasan KPK, maka kepala daerah mencari uang dari pergeseran eselon di bawahnya.  Sangat tragis bukan?  Kalau sistem seperti ini, politik uang masih mendominasi Pilkada. Di beberapa daerah, untuk menghindari korupsi, pada penggantian eselon. Tanpa melalui uji kompetensi mereka.
Proses Pilkada, kepemimpinan kepala daerah di berbagai tempat, selama sistem melalui suara terbanyak tanpa didasari sumber daya manusia, ekonomi perkapita belum ditingkatkan, maka akan riskan terhadap penyelenggaraan negara (korupsinya).  Ironisnya, karena ketatnya KPK, maka kepala daerah sewenang-wenang mentenderkan jabatan kepala dinas dan jabatan dibawahnya hanya untuk mendapatkan biaya politik.  Ini harus dicari solusinya.  Dalam hal ini, seleksi harus dilakukan sesuai kompetensi.
Solusinya, menurut Leo Nababan, untuk kepala dinas dan badan di daerah, harus sesuai dengan jenjang karir, golongan eselon dan kompetensi yang bersangkutan.  Misalnya, sebagai tim sukses meski jurusan agama, menjadi kepala dinas pertambangan. Untuk itu, Leo Nababan menilai, parlemen jalanan dibutuhkan jika DPR mandeg.
Leo Nababan menilai parlemen jalanan masih diperlukan.  “Kalau DPR mampet,parlemen jalanan menjadi solusi.  Itu rumus,” jelasnya.
Leo berharap partai melakukan pendidikan kader dan regenerasi pemimpin. Pengkaderan yang paling bagus menurut Leo terjadi di militer, kepolisian, dan birokrasi, sedangkan di partai politik belum terwujud.  Padahal fungsi parpol salah satunya adalah memperkuat kesadaran politik masyarakat.  Berlum terwujudnya fungsi ideal parpol saat ini, menjadikan massa yang adalah adalah massa mengambang.  Walaupun begitu, Leo menyadari, usia demokrasi di Indonesia masih muda, baru sepuluh tahun.  Masih jauh kalau dibandingkan Amerika Serikat yang sudah berusia ratusan tahun.
Walaupun terjadi pengkaderan dan regenerasi di birokrasi, Leo Nababan memberi catatan untuk hal ini.  Ia merasa kasihan dengan kenyataan yang terjadi.  Di birokrasi, mereka meniti karir dengan tertib, ikut penataran ini dan itu.  Namun semua itu buyar, manakala menteri, gubernur, atau bupati/walikota dari partai tertentu, maka yang menjadi prioritas adalah orang-orang partainya bukan para birokrat yang sudah susah payah merintisnya.

Bersyukur
Leo bertekad untuk terus bersikap konsisten,  tidak akan bergeser dari Leo Nababan yang apa adanya.  Leo menyadari keadaannya yang mulai dari tidak ada sampai menjadi ada seperti sekarang ini.  Leo selalu bersyukur atas nikmat hidup yang diperolehnya.  Gaya Leo sepuluh tahun lalu tidak berubah dengan gayanya sekarang, dan ia bertekad akan mempertahankan gayanya yang apa adanya itu.
Leo menegaskan tidak pernah memberhalakan uang.  Baginya uang bukan segala-galanya.  Banyak orang memiliki uang, namun berkekurangan dalam hal lain.  Leo menyaksikan, sendiri banyak orang kaya, tapi tidak menikmati hidup.  “bayangkan untuk makan saja harus suntik dulu, minum obat dulu, dan sejumlah larangan untuk tidak  boleh makan ini dan makan  itu.”
Bagi Leo, kaya itu relatif, yang lebih utama hidup haruslah berguna bagi orang lain, mengasihi manusia seperti mengasihi diri sendiri.  Leo selalu berusaha membagi rezeki pada orang lain.  “Hidup saya diberkati Tuhan, dan saya harus membagi berkat itu kepada orang lain,” jelas Leo.  Baginya, beragama itu harus melakukan.  Bukan menjadi pendengar Firman yang taat, tapi melakukan apa yang Tuhan firmankan.  Yang banyak saat ini, menurut Leo, adalah pendengar, tidak melakukan.  Sikap seperti itu seperti tong, bunyinya kencang tapi kosong.

Demokrasi Seolah-olah
Persoalan ke depan bangsa ini di mata Leo adalah bagaimana bisa keluar dari kemiskinan.  Bangsa lagi sakit.  Sumber daya alam kaya, tapi kenapa tidak bisa makmur?  Itulah yang menjadi mimpi Leo.  Yaitu bagaimana agar demokrasi bisa mensejahterakan. Leo mengamati ada yang salah dalam penerapan demokrasi di Indonesia. Menurut Leo demokrasi di Indonesia masih seolah-olah. Bahkan banyak mengolah-ngolah. Banyak raja olah. Dengan demikian demokrasi semakin jauh dari harapan. Oleh karena itu Leo bertekad kalau mau berdemokrasi marilah berdemokrasi sebenarnya. Bernegara sebenarnya. Kalau memikirkan rakyat, pikirkan rakyat yang sebenarnya.
Dalam politik ada ungkapan kepentinganlah yang abadi. Leo mendambakan hendaknya para politisi tidak berhenti di sana. Tapi ditingkatkan lagi. Yaitu bagaimana mensejahterakan masyarakat. Oleh karena itu kesejahteraan rakyat harus menjadi kepentingan bersama.
Leo mengamati adanya kerancuan dalam hal pembagian kewenangan bernegara saat ini. Tidak jelas batas antara kewenangan pemerintah dan kewenangan parlemen. Leo mencontohkan masalah APBN, seharusnya DPR tidak boleh ikut di satuan 3 atau urusan teknis. DPR di satuan 1 saja, di frame-nya saja. Pembangunan jalan raya dengan investasi ratusan triliun rupiah itu domain pemerintah. Soal bagaimana dan kemana dananya itu otoritas pemerintah. BBM juga sebenarnya itu otoritas pemerintah, tapi kenyataannya ditentukan oleh DPR dan pemerintah. Keadaan demikian mengaburkan apakah pemerintah Indonesia itu parlementaria atau presidensil? Di  Indonesia beda tipis antara pengawasan dan pelaksanaan.
Leo menengarai bahwa UU ditunggangi. Belum lagi masalah nomenlaktur yang tidak jelas, apakah mau liberal atau gotong royong. Semuanya setuju ekonomi Indonesia haruslah musyawarah mufakat kegotong royongan. Bukan diserahkan ke pasar semuanya. Dalam mencapai solusi pun seharusnya kembali kepada prinsip dasar yaitu demokrasi Pancasila. Musyawarah dan mufakat dulu baru voting. Yang terjadi sekarang sudah terjebak liberalisasi. Belum apa-apa sudah voting.
Kondisi politik saat ini mengakibatkan masyarakat sudah tidak kritis lagi. Masyarakat pun juga terjebak pada pragmatisme. Saat pemilu yang dilihat bukan kualitas orang, tapi pragmatisme rupiah. Apatisme masyarakat untuk tidak pergi ke TPS juga tidak tepat. Padahal sebaiknya ke TPS dari pada tidak memilih sama sekali.
Indonesia lambat sekali dalam perubahan. Ini karena sumbunya pendek dan pemaaf. Liberalisme di sejumlah Negara sudah usang. Di Indonesia masih diagung-agungkan. Apalagi hal ini di dukung dunia yang pro liberal. Seharusnya rakyat yang menentukan nasibnya sendiri bukan elit, pun bukan pasar. Persoalan lainnya adalah ada sejumlah pihak yang sering merekayasa bahwa apa yang dilakukannya sebagai suara rakyat. Mencerdaskan kehidupan politik masyarakat itu tanggung jawab pemimpin bangsa dan partai politik.
Leo menilai Indonesia saat ini sebagai negara miskin yang paling liberal di dunia. Begitu bebasnya pers beroperasi tanpa prioritas kepentingan publik. Contohnya ada pembakaran rumah ibadah langsung diekspos. Di Negara maju hal-hal seperti itu disaring. Pers tidak memuatnya. Meskipun demikian sesungguhnya saringan pertama itu ada di otak masyarakat. Kalau ada berita aneh-aneh ya ganti saluran saja. Memang akhir-akhir ini masalah televisi cukup menyedot perhatian. Betul aturan perlu diperketat. Namun demikian aturan yang harus lebih dikuatkan itu adalah di hati manusianya.
Penguatan sikap mental bisa dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan menurut Leo harus dimulai dari hal yang paling kecil. Leo mencontohkan bagaimana larangan merokok di gereja HKPB Menteng tidak diindahkan. Tapi ketika melibatkan anak sekolah dasar untuk mengingatkan agar orang dewasa tidak merokok. “ompung merokok dilarang Tuhan Yesus…”, maka perokok pun gak berani lagi melanjutkan kebiasaan buruknya itu.

Pemimpin
Untuk maju Indonesia memerlukan pemimpin yang kuat. Lebih dari itu pemimpin yang takut kepada Tuhan. Sehingga pemimpin seperti itu tidak akan semena-mena. Pemimpin demikian akan takut melakukan pelanggaran.
Seorang pemimpin seharusnya melayani, bukan dilayani. Tapi yang terjadi saat ini justru pemimpinlah yang minta dilayani. Maka lumrah sekali birokrasi itu konotasinya adalah penguasa, bukan pelayanan. Itu bisa dilihat di Samsat, di Kelurahan. Sementara itu rakyat pun selalu mendoakan keselamatan bagi para pemimpinnya, dengan harapan nantinya rakyat terjamin. Ini seperti dalam lagu lebaran tahun 60-an karya Ismail Marzuki dengan orkes Mus Mualim yang dinyanyikan oleh Didi yang berbunyi,” selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin.” Menurut Leo seharusnya lagu itu dibalik, selamat bagi rakyatnya, maka pemimpin akan terjamin. Bukan pemimpin dulu yang didoakan selamat, rakyat dulu dong sejahtera. Jangan dibalik.
Leo Nababan mengamati sistem di Indonesia memberi jalur bebas kepada yang kaya. Siapa yang punya uang dia yang menang. Ini namanya liberalisasi politik. Di Amerika Serikat saja tidak sebebas seperti di Indonesia. Sejak awal Golkar mengusulkan 1 distrik 1 kursi saja. Ini dimaksudkan supaya ada kedekatan kandidat dengan rakyatnya. Sekarang 1 caleg merawat 10 kabupaten. Superhero itu. Akibatnya rakyat selalu dibohongi. Kalau mau caleg dekat dengan rakyat, harus 1 suara 1 kabupaten. Kalau sekarang 10 kabupaten 1 suara. Penelitian CSIS menunjukkan sebanyak 92 persen caleg tidak dikenal konstituennya.
Susahnya politisi karbitan adalah mereka tidak mengerti fungsi dan tugas pokoknya.  Karena tidak menguasai masalah mereka jadi tidak mengerti mana prioritas mana bukan prioritas. Dari 560 anggota DPR hanya sedikit yang tahu hak budgeting. Bahkan barangkali lebih banyak yang menguasai itu staf ahlinya. Jadi sebenarnya yang pantas duduk di dalam adalah staf ahlinya.

Dimaki untuk dijamu
Bagi Leo Nababan seorang pemimpin itu harus memiliki kekuatan fisik di samping kekuatan mental. Leo mengenang indahnya saat masa-masa penggojlokan semasa mahasiswa dulu. Waktu itu bersama kawan-kawan seangkatan lainnya diharuskan untuk loncat kodok mulai dari pintu masuk kampus sampai ke ruangan. Kalau ketahuan melanggar bisa ditendang senior. Leo memandang acara penggojlokan seperti itu bagus untuk pembentukan mental. Dan hal itu tidak berarti penyiksaan, namun untuk membentuk rasa hormat pada senior. Dan memang hubungan dengan senior pun terjalin bagus. Saat itu Leo menjadi Komandan Tingkat.
Pengalaman lainnya sebagai aktifis Leo sering berurusan dengan aparat. Suatu kali Leo “dipanggil” ke Kodim bersama aktivis-aktivis lainnya. Kebetulan Komandan Kodim tersebut orang Batak, marganya Butarbutar. Sehabis dimaki-maki Leo memegang tangan sang Komandan dan berkata,” kalau tidak begini, tidak kenal saya sama abang..”, menanggapi tindakan Leo tersebut sang Komandan tertawa, bahkan Leo akhirnya dijamu dengan diberi minuman dan makanan sebelum akhirnya berdiskusi.

Merampungkan Studi
Setelah mangkir lima tahun dari kampus karena kesibukkannya sebagai kepala cabang (Badan Pelaksana dan Penyangga Cengkeh) BPPC, Leo Nababan diingatkan kembali oleh pesan orang tuanya saat membangun rumah untuk mereka. “Sudah lengkap semua, tapi belum sempurna, sekolah kau belum selesai.” Begitu orang-tuanya berharap. Oleh karena itu, Leo kembali ke kampus.  Di bawah bimbingan Dr. Imam Sutrisno dan Ir. Sulistiyo  Leo akhirnya berhasil menuntaskan studinya.
Pada malam inaugurasi Leo diminta mewakili wisudawan. Leo dipilih bukan sebagai mahasiswa tercerdas, sebaliknya dia mahasiswa paling lama. Namun demikian pihak kampus lebih melihat Leo sebagai teladan yang sukses dalam berkarir. Buktiknya dia mampu memimpin 38 sarjana di lingkungan perusahaan tempat Leo bekerja saat dirinya masih berstatus mahasiswa.
Dengan dukungan aset 38 sarjana dan 27 gudang Leo mampu mengelola 178 KUD di bawah BPPC, termasuk KUD terbesar yang berada di bawah naungan Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM) yaitu KUD Inspirasi. Jamaat GMIM bercocok tanam cengkeh.  Untuk mempermudah garis kendali, perusahaan di bawah binaan Leo bekerjasama dengan gereja.
Pada waktu giliran membacakan kata sambutan, Leo tidak melakukannya. Diliputi rasa bangga karena ayah dan ibunya datang dari Medan, bahkan dihadiri ayah dan ibu angkatnya juga, Prof Dr JH Hutasoit, Leo malah mengajak hadirin bernyanyi. “Kita bisa baca dan menulis karena siapa?….., karena guru. Maka mari kita tafakur mengenang guru-guru dari TK hingga…..” begitu Leo mengisi sambutannya. Begitu selesai Leo menyampaikan ajakannya, hadirin menyambutnya dengan berdiri. Rektor menjelaskan kepada hadirin bahwa yang memberikan kata sambutan tadi adalah kepala cabang BPPC.

Darmaji
Untuk menopang hidup semasa kuliah, Leo mengenang betapa dia harus mengelola uang sebesar 35 ribu rupiah yang dikirim lewat wesel. Uang sejumlah itu sudah termasuk biaya untuk keperluan buku, makan dan segala keperluan. Terlambat 3 hari saja langsung berpengaruh terhadap kondisi kehidupan Leo. Macam-macam cara dilakukan Leo termasuk diantaranya membantu mengangkat tas pendeta dengan harapan bisa numpang makan di rumah jemaat. Jadi praktis Leo hidup dari berkat ke berkat. Di samping itu masih lekat dalam ingatan Leo betapa dengan terpaksa dia memakai jurus Darmaji, aliasdahar lima ngaku hiji (bahasa Sunda: makan lima ngaku satu). Untuk menebus kenakalan semasa kuliah tersebut Leo kembali mendatangi pemilik warung sate tempat dulu biasa mangkal untuk mengganjal perutnya. Saat mengamplopi pak Haji sambil membuat pengakuan dosa, ternyata pak Haji pun masih ingat. “Saya tahu kau sering makan lebih, tapi aku pura-pura tidak tahu.” Demikian pak Haji dengan bijak menjelaskan. Agaknya pak Haji mafhum bagi Leo muda yang tengah menuntut ilmu, persoalan tersebut merupakan pilihan hidup dan mati saat itu alias menyambung hidup.
Begitulah kehidupan awal aktivis memang penuh gejolak gairah muda yang masih murni. Memang betul ungkapan lagu Gaudeamus igitur[4] atau De Brevitate Vitae (Dalam Singkatnya Kehidupan) yang sering dinyanyikan sebagai pembuka acara wisuda dan malam Dies Natalies itu. Teks yang tertulis di bawah ini merupakan versi Christian Wilhelm Kindleben yang ditulis pada tahun 1781, dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia.


Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus.
Post jucundam juventutem
Post molestam senectutem
Nos habebit humus.
Mari kita bersenang-senang
Selagi masih muda.
Setelah masa muda yang penuh keceriaan
Setelah masa tua yang penuh kesukaran
Tanah akan menguasai kita.

Pereat tristitia,
Pereant osores.
Pereat diabolus,
Quivis antiburschius[5]
Atque irrisores.
Enyahlah kesedihan
Enyahlah kebencian
Enyahlah kejahatan
Dan siapa pun yang anti mahasiswa
Juga mereka yang mencemooh

[1] Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) adalah lembaga pemerintah non kementerian yang bertugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pendidikan pimpinan tingkat nasional.  Pengkajian stratejik ketehanan nasional dan pemantapan nilai-nilai kebangsaan.  Lembaga Pertahanan Nasional berdiri pada tanggal 20 Mei 1965 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1964, dan berada langsung di bawah Presiden.
[2] Mei 1968 adalah nama yang diberikan pada serentetan protes dan pemogokan umum yang menyebabkan kejatuhan pemerintahan De Gaulle di Perancis yang terjadi pada bulan Mei dan Juni 1968.  Rentetan kejadian ini memberikan warna tersendiri pada perjalanan sejarah Perancis modern yang ditandai oleh gerakan perlawanan yang terjadi di bidang politik, sosial dan budaya terhadap nilai-nilai masyarakat konservatif, kapitalisme, imperialisme dan terhadap kekuasaan (pemerintahan De Gaulle).  Peristiwa yang diawali oleh serentetan pemogokan mahasiswa dan pelajar di Paris dan kemudian disusul oleh kaum buruh dan seluruh lapisan masyarakat Perancis tersebut, merupakan pergerakan terbesar yang terjadi dalam sejarah Perancis di abad ke-20.
Lebih dari sekedar tuntutan materi dan politis (penggulingan pemerintahan De Gaulle yang berkuasa sejak 1958), gerakan Mei 1968 lebih merupakan perlawanan terhadap segala bentuk kekuasaan.  Gerakan pelajar dan mahasiswa saat itu menuntut “pembebasan moral” dan sekaligus menyatakan penolakan terhadap sistem universitas yang konservatif, masyarakat konsumtif, kapitalisme, institusi-institusi dan nilai-nilai tradisional.
Mei 1968 merupakan salah satu dari gerakan-gerakan sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia pada tahun yang sama. Peristiwa Mei 1968 hanya dapat dimengerti dalam konteks-konteks pergolakan umum yang terjadi pada masa itu seperti perlawanan atas konsep Tirai Besi (di Jerman), periode Musim Semi Praha di Cekoslowakia, dan pergolakan-pergolakan sosial yang juga terjadi di Amerika Serikat, Jepang, Meksiko, Brasil dan di China (Revolusi Budaya).
Mei 1968 benar-benar melumpuhkan negara Perancis selama beberapa minggu.  Masa tersebut diwarnai dengan berbagai debat, pertemuan, diskusi, di berbagai institusi pemerintahan, perusahaan, sekolah, universitas, teater,  di kelompok-kelompok gerakan kepemudaan, secara formal maupun informal termasuk di jalanan.
[3] KOSGORO adalah singkatan Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong yang berdiri pada tahun 1957.  Kosgoro merupakan salah satu KINO (Kelompok Induk Organisasi), disamping SOKSI dan MKGR, yang melahirkan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 20 Oktober 1964.  Kino-kino tersebut pada tahun 1970 mengeluarkan keputusan bersama untuk ikut menjadi peserta. (Wikipedia)
[4] De Brevitate Vitae (Dalam Singkatnya Kehidupan), atau lebih dikenal dengan judul Gaudeamus igitur (“Karenanya marilah kita bergembira”) adalah lagu berbahasa Latin yang merupakan lagu komersium akademik dan sering dinyanyikan di berbagai negara Eropa. Di negara-negara Barat, lagu ini dinyanyikan sebagai anthem dalam upacara kelulusan. Melodi lagu ini terinspirasi oleh lagu abad pertengahan, bishop of Bologna ciptaan Strada. Gaudeamus ini pada zaman dahulu di jerman merupakan lagu perjuangan kebebasan akademi.
Liriknya sendiri mencerminkan semangat para pelajar yang tetap semangat meskipun dengan pengetahuan bahwa pada suatu hari nanti kita semua akan mati, seperti terangkum dalam bait pertama pada baris ke-4 dan yang lebih diperjelas lagi pada isi bait ketiga, yang mengandung arti kesadaran akan dekatnya kematian dengan kehidupan manusia di bumi ini.
Dengan demikian bukanlah sebuah ‘ajakan’ untuk hidup dalam hedonisme seperti yang sering dituduhkan, hal ini dapat dilihat dari bait kedua dari stanza ini yang secara tersurat dan tersirat berisi pengakuan akan keberadaan alam lain setelah kematian yaitu surga dan neraka
Meskipun sering dipakai sebagai ‘lagu pembuka’ acara sebelum bersulang, sebagai sebuah kebiasaan di negara-negara Barat untuk merayakan sesuatu dengan minum bir, anggur, atau sampanye sebagai penghangat diri, lagu ini sendiri bukan dimaksudkan untuk mabuk-mabukan namun lebih kepada perayaan atas segala keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang, misalnya berhasil menyelesaikan pendidikan. Itulah sebabnya Gaudeamus igitur banyak dipakai di hampir seluruh universitas di dunia dalam acara wisuda.
[5] Sebagai catatan, kata antiburschius (“anti-mahasiswa”) sebenarnya bukanlah kata asli dari bahasa Latin, melainkan sebuah kata serapan dari bahasa Jerman Bursch atau Bursche, yang berarti “anak muda” atau “mahasiswa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar